Memaknai Toleransi Beragama Bukan Melebur Agama
Memahami Toleransi Beragama Bukan Melebur Agama
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah : "dengan sabar membiarkan sesuatu". Jadi secara harafiah pengertian dari Toleransi beragama ialah dengan sabar membiarkan orang menjalankan agama-agama lain. Tentu bukan hanya itu yang akan kita bahas, akan tetapi lebih dalam lagi tentang pengertian toleransi umat beragama. Dasar adanya toleransi sendiri ialah adanya sebuah perbedaan. Lalu sikap toleransi akan muncul ketika perbedaan itu di maknai dengan sabar dan dewasa. Toleransi juga dilakukan di tempat tertentu yaitu di masyarakat.
Salah satu asas kesepahaman dan toleransi antarumat beragama dan mazhab dalam sebuah masyarakat beradab yang harus dibangun adalah tradisi dialog produktif dan kondusif. Bahkan dalam agama termasuk Islam juga memperhatikan pentingnya ruang dialog ini. Islam sendiri menginginkan nabinya menyampaikan dan menyuarakan agama lewat metode dialog dan logika. Dialog menempati posisi yang sangat signifikan dalam Al-Quran. Bahkan istilah ‘dialog’ (berikut padanannya) menduduki posisi utama dalam kitab suci.
Kitab suci Al-Quran menghendaki Nabinya menyampaikan dan menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan debat dalam cara terbaik, entah kepada kaum Muslim sendiri maupun kepada kaum diluar pemeluk Islam. Ini sesuai dengan firman-Nya:
“Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Nahl [16]: 125).
Atau pada firman-Nya yang lain; “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. al-Ankabut [29]: 46).
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di berbagai Surah. Juga sejumlah hadits dan praktik toleransi dalam sejarah Islam. Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam masyarakat Islam.
Salah satu bentuk toleransi Islam adalah sebuah persaudaraan universal. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menghindari semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah suatu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Butir-butir piagam yang menegaskan toleransi beragama, antara lain, sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi mereka yang terikat dalam Piagam Madinah.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Banyak sekali kita temukan individu muslim yang menganggap, saling menghormati dan saling menghargai suatu agama adalah suatu keharusan tanpa adanya peraturan yang saling membatasi. Bahkan, mungkin sampai mempunyai keyakinan bahwa semua agama itu sama dan benar semua, baik dalam segi sosial maupun akidah.
Maka, terjebaklah mereka dalam konsep pluralisme teologis (ber-akidah) yang tidak dibenarkan dalam Islam. Plurarisme sebagai aliran filsafat yang menganggap semua agama benar, semua bentuk 'ubudiyah yang dilakukan masing-masing pemeluk agama adalah jalan yang menuju kepada titik yang sama.
Muslim diajari dengan tegas mana yang terkait dengan akidah 'ubudiyah (teologis) dan mana yang terkait dengan persoalan sosial dan budaya (sosiologis).
Karena itu, dalam konteks akidah atau keyakinan, umat Islam harus tegas. Tetapi, dalam hal sosial, umat Islam harus fleksibel dan toleran. Maka, di sinilah batasan-batasan toleransi itu.
Disusun oleh : Muhammad Hasan Hidayatulah
0 comments:
Post a Comment