Trending
Loading...
  • New Movies
  • Recent Games
  • Tech Review

Tab 1 Top Area

Tech News

Game Reviews

Recent Post

Showing posts with label Hadis arba'in. Show all posts
Showing posts with label Hadis arba'in. Show all posts
Wednesday, 26 March 2014
no image

Hadis Arba'in ke 13 ( Ukhuwwah Islamiyah)



Abu Hamzah, Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Seorang di antara kalian tidak beriman jika belum bisa mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS

Imam Nawawi menyebutkan bahwa Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abi Zaid [seorang ulama besar madzab Maliki di Maroko] berkata, “Siklus kebaikan terletak pada empat hadits. Yaitu
1. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah kebaikan atau diam.”
2. “Di antara tanda sempurnanya iman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”
3. “Jangan marah.”
4. “Tidak beriman seorang di antara kalian, hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”
Inilah yang barangkali yang mendorong Imam Nawawi memuat keempat hadits tersebut dalam kitab al-Arba’ain “Empat puluh hadits”.
Al-Jurdani, dalam syarahnya terdapat al-Arbain, mengatakan bahwa hadits ini satu dari dasar-dasar Islam.

KANDUNGAN HADITS

1. Persatuan dan kasih sayang.
Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis dan penuh kasih sayang. Setiap individu berusaha mendahulukan maslahat umum dan kedamaian masyarakat, sehingga tercipta keadilan dan kedamaian. Semua itu tidak akan terealisasi kecuali jika setiap individu yang ada dalam masyarakat menghendaki kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain seperti ia menghendakinya untuk dirinya sendiri. Karena itulah, Rasulullah saw. mengkaitkan persatuan dengan iman. Bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan.

2. Iman yang sempurna.
Iman akan terealisasi dengan pembenaran dan pengakuan yang mendalam terhadap rububiyah (bahwa Allah adalah pemelihara, pengatur, penjaga dan sebagainya) dan meyakini rukun iman yang lain, iman kepada para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir, qadla dan qadar.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa keimanan tidak dianggap kokoh dan mengakar dalam hati seorang muslim, kecuali ia menjadi manusia yang baik. Manusia yang jauh dari egoisme dan rasa dendam, kebencian dan kedengkian. Ia menghendaki kebaikan dan kebaikan terhadap orang lain, sebagaimana ia menginginkan kebaikan dan kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri. Lebih rincinya kesempurnaan iman itu akan terealisasi melalui hal-hal berikut:

a. Mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan untuk saudaranya sebagaimana ia membenci untuk dirinya sendiri. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Mu’adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah saw. perihal iman yang paling afdhal, Rasulullah saw. bersabda: “Agar seseorang mencintai sesuatu [kebaikan] untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci suatu [keburukan] untuk mereka, sebagaimana ia membenci sesuatu [keburukan] untuk dirinya sendiri.” (HR Ahmad)
b. Bersegera memberikan nasehat manakala saudaranya lalai
c. Segera maafkan dan memenuhi hak saudaranya, sebagaimana ia juga ingin segera dipenuhi haknya.

Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang ingin agar dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ia mati dalam keadaan iman kepada Allah dan hari akhir, dan mendatangi orang yang suka mendatangi.”

3. Nilai lebih seorang muslim.
Di antara bentuk kesempurnaan iman adalah berharap agar kebaikan juga dimiliki orang lain, yang muslim dan yang non muslim. Artinya berharap dan berusaha agar orang-orang kafir itu dapat merasakan nikmatnya iman.
Rasulullah saw. bersabda: “Cintailah sesuatu [kebaikan] untuk orang lain, sebagaimana kamu mencintainya untuk dirimu, niscaya kamu menjadi muslim [yang baik].” (HR Tirmidzi)

4. Berlomba untuk mendapatkan kebaikan.
Berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan merupakan kesempurnaan iman. Karenanya, seseorang yang ingin memiliki keimanan dan ketakwaan seperti yang dimiliki orang yang lebih shalih, bukanlah suatu aib atau hasad “iri hati”. Bahkan sikap seperti ini merupakan refleksi kesempurnaan iman perbuatan yang disyariatkan Allah swt. dalam firman-Nya: “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (al-Muthaffifiin: 26)

5. Keimanan menciptakan masyarakat yang bersih dan berwibawa.
Hadits ini merupakan dorongan bagi setiap muslim agar senantiasa berusaha membantu orang lain untuk melakukan kebaikan. Karena hal ini merupakan bukti dan tanda kebenaran imannya. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang bersih dan berwibawa. Bagaimanapun ketika seseorang menciptakan suatu kebaikan untuk orang lain, tentu ia akan berlaku baik kepadanya. Dengan demikian akan timbul rasa kasih sayang di antara anggota masyarakat, kebaikan akan tersebar luas, kejahatan dan kedhaliman akan tersisih, dan terciptalah keharmonisan dalam setiap lini kehidupan. Mereka seolah satu hati, kebahagiaan saudaranya adalah kebahagiaanya, kesedihan saudaranya adalah kesedihannya.
Masyarakat seperti inilah yang seharusnya terbentuk dalam komunitas muslim, sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah saw. dalam haditsnya: “Orang-orang mukmin, dalam kasih sayangnya, seumpama satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh yang lain merasakan demam dan kurang tidur.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika ini yang terjadi, maka Allah akan memberikan kepada mereka kewibawaan, kemuliaan, dan kekuasaan di dunia. Sedangkan di akhirat, ia akan mendapatkan pahala.

6. Masyarakat yang jauh dari keimanan, adalah masyarakat yang egois dan penuh kebencian.
Jika keimanan tidak ada, kasih sayang pun hilang. Sebagai gantinya, kedengkian, penipuan, dan egoisme mendominasi dalam masyarakat. Dalam kondisi ini, manusia menjelma menjadi srigala-srigala yang haus darah, kehidupan kacau dan kedhaliman merajalela. Allah swt. memberikan gambaran: “Mereka itu mati dan tidak hidup. Mereka tidak tahu kapan mereka dibangkitkan.”

7. Hadits ini mendorong kita untuk bersatu dan hidup teratur

8. Hendaklah kita menjauhi hasad, karena hasad dapat mengurangi kesempurnaan iman. Orang yang memiliki sifat hasad, tidak akan mau orang lain melebihinya , atau bahkan berangan-angan agar nikmat yang ada pada orang lain itu sirna.

9. Iman senantiasa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

no image

Hadis Arba'in ke 12 ( Meninggalkan Hal yang Sia-Sia)



Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Di antara tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya)

URGENSI HADITS

Abu Hurairah ra. Shahabat yang selalu menyertai beliau dan banyak mengadopsi perilaku beliau berkata: “Rasulullah menjelaskan hadits tersebut kepada kami dengan kalimat yang singkat dan penuh manfaat, di dalamnya terkumpul kebaikan dunia dan kebahagiaan akhirat.”

Para ulama sepakat bahwa hadits ini merupakan jawami’ul kalim yang menjadi keistimewaan Rasulullah saw. yang tidak dimiliki nabi-nabi sebelumnya. Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hadits ini merupakan separuh dari agama, karena agama pada dasarnya adalah melakukan sesuatu [al fi’lu] dan menghindari sesuatu [at-tark], dan hadits ini merupakan dasar untuk menghindari suatu perbuatan, dengan demikian separuh dari agama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menghimpun semua ajaran agama. Karena secara tekstual menyebutkan tentang at-tarku dan secara kontekstual mengisyaratkan al-fi’lu. Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini dasar yang sangat penting berkaitan masalah akhlak.”
Abu Dawud berkata, “Siklus hadits-hadits ada pada empat hadits… salah satunya adalah hadits ini.” (syarah Ibnu Daqiq al-‘Id terhadap al-Arba’in)

KANDUNGAN HADITS

1. Membangun masyarakat yang mulia
Islam menghendaki terciptanya kedamaian dalam masyarakat. Tidak ada pertentangan dan permusuhan. Juga menghendaki kedamaian bagi individu, hidup di dunia dengan penuh kebahagiaan, disayangi dan tidak disakiti, hingga ketika meninggal dunia kelak, ia mendapatkan kemenangan dan keberuntungan.

Yang biasanya menimbulkan perpecahan dan mengacaukan masyarakat adalah campur tangan terhadap urusan orang lain, terutama masalah yang tidak mendatangkan manfaat baginya. Karena itulah salah satu tanda muslim sejati dan tandan kebenaran iman seseorang adalah sikap tidak campur tangan terhadap urusan orang lain.

2. Menyibukkan diri dengan urusan yang tidak mendatangkan manfaat adalah kesia-siaan dan tanda lemahnya iman.
Dalam kehidupannya, manusia senantiasa dikelilingi oleh manusia lain. Berbagai kesibukan dan hubungan satu sama lain sangat banyak dan beragam. Maka seorang muslim bertanggung jawab penuh dalam setiap langkah dan perbuatannya, setiap waktu yang dipergunakannya, dan setiap kata yang diucapkannya. Jika seseorang kemudian disibukkan oleh hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, hingga ia meninggalkan kewajiban yang seharusnya ia lakukan, melupakan amanat yang sepatutnya ia emban, maka di dunia akan mendapat cela dan di akhirat akan mendapat siksa. Hal ini adalah tanda lemahnya iman yang ada dalam dirinya, bahkan Islamnya hampir mendekati orang-orang yang mengaku Islam, namun hanya sebatas di bibir dan lidah.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa salah seorang sahabat meninggal dunia, lalu seseorang berkata, “Berilah kabar gembira dengan surga.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kalian tidak tahu… mungkin ia pernah mengucapkan perkataan yang tidak mendatangkan manfaat atau bakhil terhadap sesuatu [harta] yang sebenarnya tidak akan berkurang.” (HR Tirmidzi)

3. Menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat merupakan jalan keselamatan.
Jika seorang muslim menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya, niscaya ia akan menyibukkan diri dengan berbagai hal yang mendatangkan manfaat, bagi dunia maupun akhiratnya, dan akan menghindari segala hal yang tidak mendatangkan manfaat.

Perlu diketahui bahwa perkara yang bermanfaat lebih sedikit dibanding dengan perkara yang tidak bermanfaat. Karenanya dengan membatasi diri pada perkara yang bermanfaat, niscaya dia akan terhindar dari segala keburukan dan dosa, dan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi akhiratnya. Ini adalah tanda kesempurnaan Islam dan iman seseorang. Ia pun akan mendapatkan tempat yang baik di sisi Tuhannya.

Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian baik [sempurna] Islamnya, maka setiap kebaikan yang dikerjakan akan dicatat [baginya] sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Dan setiap keburukan yang dilakukan akan dicatat seperti apa yang ia lakukan [tidak dilipatgandakan].” (HR Bukhari)

Imam Malik menyebutkan bahwa Luqman pernah ditanya: “Apa yang menjadikan ada sampai pada derajat seperti ini?” ia menjawab: “Kejujuran, menepati janji, dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”

4. Sibukkan diri anda dengan mengingat Allah swt. niscaya anda akan menjauhi perkara yang tidak bermanfaat.
Seorang muslim yang beribadah kepada Allah swt. seolah-olah melihat-Nya, merasakan kedekatan Allah swt. niscaya dia akan menyibukkan diri dengan hal-hal yang mendatangkan manfaat. Dengan demikian, ia akan menghindari perkara yang tidak mendatangkan manfaat. Jika ia mampu melakukan ini maka yang demikian itu adalah bukti kebenaran imannya kepada Allah. Namun jika ia tetap melakukan berbagai hal yang tidak bermanfaat, maka hal itu pertanda bahwa ia tidak mampu menghadirkan rasa dekat kepada Allah swt. dan bukti bahwa keimanannya belum benar.
Hasan al-Bashri berkata: “Tanda, bahwa Allah berpaling dari hamba-Nya adalah jika seorang hamba menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara yang tidak mendatangkan manfaat.”

5. Perkara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.
Perkara yang mendatangkan manfaat bagi manusia adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan kebutuhan manusia paling mendasar, seperti: sandang, pangan dan papan. Juga perkara-perkara yang berhubungan dengan keselamatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Di luar masalah-masalah ini, maka tergolong perkara yang tidak mendatangkan manfaat.

Jad bisa disimpulkan bahwa perkara yang tidak mendatangkan manfaat adalah berbagai keinginan yang melebihi kebutuhan dasar. Seperti menumpuk harta dan kenikmatan, gila kedudukan dan kehormatan. Karenanya tanda kebenaran iman seorang muslim adalah tidak melakukan hal-hal tersebut.

Termasuk perkara yang tidak bermanfaat adalah sesuatu yang pada dasarnya dibolehkan , namun tidak membawa manfaat berarti bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Contoh: permainan, gurauan dan berbagai masalah lainnya yang mengurangi kewibawaan dan tidak membawa manfaat. Maka setiap muslim lebih baik meninggalkannya, karena perkara-perkara tersebut dapat menyia-nyiakan waktu dan hal ini kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Banyak bicara, terutama perkataan yang tidak mendatangkan manfaat. Bahkan banyak bicara, cenderung membawa kepada perkataan yang haram. Karena itu seorang muslim seharusnya tidak banyak mengumbar perkataan atau bahkan dengan mudah menerima dan menuturkan suatu yang bersifat kabar burung.

Tirmdizi meriwayatkan dari Muadz ra. bahwa Rasulullah saw. bersabada ketika ditanya: “Apakah perkataan kita akan dimintai pertanggungjawabannya?” Beliau menjawab: “Hus. Tidaklah manusia ditenggelamkan ke dalam neraka kecuali akibat perkataan mereka.” Rasulullah saw. bersabda: “Perkataan manusia adalah sebuah dosa [baginya] dan bukan pahala, kecuali amar ma’ruf nahi munkar dan dzikrullah [mengingat Allah].”

6. Seorang muslim seharusnya menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang bernilai dan bukan disibukkan dengan masalah-masalah yang tidak berarti.

7. Seorang muslim hendaknya senantiasa mensucikan jiwanya dengan cara menjauhi semua masalah yang tidak bermanfaat.

Disalin dari kitab al-wafi syarah hadis Arba'in an-nawawiyah
Hadis Arba'in ke 11 ( Meninggalkan Hal yang Meragukan)

Hadis Arba'in ke 11 ( Meninggalkan Hal yang Meragukan)



Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu kesayangan Rasulullah saw. berkata, Aku hafal sabda Rasulullah saw., “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan Nasa-i, Tirimidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

URGENSI HADITS

Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (ucapan yang singkat dan padat). Sebuah ungkapan yang pendek namun mengandung kaidah yang penting dalam Islam. Dasar tersebut adalah meninggalkan syubhat [keraguan] dan memilih yang halal dan diyakini. Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang merupakan poros dari ketakwaan, juga penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan.”

KANDUNGAN HADITS

1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen terhadap yang halal dalam masalah apapun, ibadah, muamalah, munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan lainnya, dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan. Hal ini akan mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang menghindari perkara syubhat, maka agama dan kehormatannya akan terjaga.

Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat, meskipun ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada masalah, namun andai kita belah dadanya tentulah akan kita jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk kerugian dan siksaan mental. Kerugian itu akan semakin besar bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram. Ingatlah bahwa orang yang menggembala di sisi pagar, lama-kelamaan akan melanggar pagar tersebut.

2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan sesuatu yang meragukan. Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata: “Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal yang halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih ke-wara’an, niscaya dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan mengerjakan sesuatu yang tidak meragukan.”

Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’ itu sangat tegas. Jika aku dihadapkan pada dua perkara, tentu aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan perkara yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’. Jika ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.”

Adapun sikap dan perbuatan mereka berkaitan dengan perkara syubhat, tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka ucapkan. Sebagai contoh Yazid bin Zurai’. Ia tidak mengambil sedikitpun warisan dari ayahnya. Karena ayahnya adalah pegawai kerajaan dan ia khawatir jika warisan tersebut tidak halal.
Contoh lain Ibrahim Adham yang tidak mau minum air Zam-Zam, dengan alasan timba yang digunakan mengambil air tersebut milik penguasa, maka dikhawatirkan tidak halal. Dan banyak lagi contoh yang lainnya.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas adalah berlebih-lebihan. Namun umat Islam perlu sekali teladan seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal yang jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat. Andai contoh-contoh semacam ini tidak ada, tentulah lambat laun umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan bahkan mungkin juga haram.

3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.
Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya batal atau tidak. Maka wudlunya tetap dianggap sah. Kaidah ini juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah telah keluar angin atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR Muslim)

4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah dalam melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan berbagai hal yang syubhat, sementara ia masih bergelimang dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini seharusnya membenahi dirinya dengan terlebih dahulu meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena itulah ketika Ibnu Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia berkata: “Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?….. sementara kalian telah membunuh Husain.”

5. Jujur adalah kedamaian, sedangkan kebohongan adalah kegundahan.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah kegundahan [keraguan]” merupakan isyarat untuk selalu jujur dalam segala hal, termasuk ketika menjawab satu pertanyaan, atau memberi fatwa. Adapun tanda dari kejujuran adalah ketenangan hati, sedangkan tanda kebohongan adalah kegundahan yang menyebabkan hatinya tidak tenang.

6. Hadits ini merupakan isyarat agar kita menetapkan berbagai hukum dan menjalankan semua permasalahan dalam kehidupan atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.

7. Sesuatu yang halal, kebenaran, dan kejujuran akan mendapatkan kedamaian dan keridlaan. Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan rasa gundah dan kebencian.

Disalin dari kitab alwafi syarh hadis arba'in an-nawawiyah)
Friday, 21 March 2014
Syarah Hadis Arbain ke 10 (Syarat di Terimanya Do'a)

Syarah Hadis Arbain ke 10 (Syarat di Terimanya Do'a)



Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan orang-orang Mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Dia berfirman: “Hai para Rasul, makanlah makanan yang baik, dan kerjakanlah amal shalih.” (al-Mu’minun: 51) Dia juga befirman: “Hai orang-orang yang beriman makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172). Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya Rabb.’ Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan barang yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim)

URGENSI HADITS

Hadits ini merupakan dasar dari berbagai hukum Islam. Juga merupakan inti dalam hal yang berkaitan dengan memakan yang halal dan menjauhi yang haram. Dengan hadits ini akan didapatkan manfaat yang luas dalam masyarakat. Karena jika masyarakat senantiasa membiasakan mengkonsumsi yang halal, maka akan tercipta kasih sayang, tidak ada dendam, iri, saling tipu, atau bahkan mencuri. Sehingga masyarakat hidup dalam situasi yang aman dan sentosa.

KANDUNGAN HADITS

1. Yang baik dan diteriman
Sabda Nabi di atas mencakup perbuatan, harta benda, ucapan, dan keyakinan. Allah swt. tidak akan menerima amalan kecuali amalan tersebut baik, bersih dari segala noda seperti riya’ dan ujub.

Allah tidak akan menerima harta benda yang diinfakkan, dishadaqahkan atau dizakatkan kecuali yang baik dan halal. Karenanya, Rasulullah saw. selalu mendorong agar seorang muslim bershadaqah dengan harta hasil usahanya yang halal dan baik. Demikian juga ucapan, tidak akan diterima Allah swt. kecuali ucapan yang baik. Alalh swt. berfirman, “Kepada-Nyalah naik [diterima] perkataan-perkataan baik, dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10). Allah swt juga membagi ucapan ke dalam dua bagian, baik dan buruk. “Allah mencontohkan ucapan yang baik, seperti pohon yang baik.” (Ibrahim: 24) “Dan ucapan yang buruk seperti pohon yang buruk.” (Ibrahim: 26)

Siapapun tidak akan selamat dari sisi Allah, kecuali mereka yang berlaku baik. Allah berfirman: “[yaitu] orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik.” (an-Naml: 32) malaikat mendatangi mereka seraya berkata: “Kesejahteraan bagi kalian. Kalian telah berlaku baik, maka masuklah ke dalam surga untuk selama-lamanya.” (az-Zumar: 73).

Dalam mengomentari kalimat laa yaqbalu illaa thayyiban (“tidak diterima kecuali yang baik.”) ibnu Rajab berkata: “seorang mukmin adalah orang yang baik secara keseluruhan, hati, lisan, dan seluruh anggota tubuhnya. Karena dalam hatinya terdapat keimanan, keimanan tersebut akan terurai melalui bibirnya dengan dzikir, melalui anggota badannya dalam bentuk amal-amal shalih dan inilah buah dari iman.”

2. Bagaimana agar amal menjadi baik dan diterima.
Unsur terpenting yang menjadikan perbuatan seorang muslim baik dan diterima, adalah makan yang baik dan halal. Dalam hadits di atas merupakan isyarat yang jelas bahwa suatu perbuatan tidak akan diterima kecuali dengan mengkonsumsi yang halal. Karena makanan yang haram dapat merusak amalan dan menjadikannya tidak diterima. Ini didasari oleh lanjutan hadits yang menyatakan bahwa perintah tersebut sama, antara orang-orang mukmin dan para rasul. Allah swt. berfirman: “Wahai para Rasul makanlah makanan yang baik dan beramal shalihlah.”

Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman makanlah makan yang baik dan apa yang Kami berikan kepada kalian.” Artinya bahwa para Rasul dan umatnya diperintahkan untuk memakan makanan yang baik [halal] dan beramal shalih. Sedangkan jika yang dimakan adalah makanan yang haram, maka amal perbuatan tidak akan diterima. (jami’ul Ulum wal Hikam hal 86).

Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Saya membaca ayat, ‘Wahai sekalian manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi, yang halal dan dan baik.’ (al-Baqarah: 168) di sisi Rasulullah saw. Lalu Sa’ad bin Abi Waqash berkata: “Wahai Rasulallah, mohonkan kepada Allah agar doaku mustajab [dikabulkan].” Nabi berkata: “Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu [pilihlah yang halal], niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya orang yang di rongganya terdapat satu genggam barang haram, tidak akan diterima amalnya selama empat puluh hari. Dan barangsiapa yang daging tubuhnya tumbuh dari barang yang haram, maka nerakalah yang paling layak untuknya.” Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang yang di rongga terdapat barang haram.”

3. Tidak diterimanya sebuah amalan
Maksud dari “tidak diterima” yang terdapat pada sebagian hadits nabi saw. adalah tidak sah. Seperti hadits “Allah tidak menerima shalat seseorang di antara kamu jika berhadats, sehingga ia berwudlu.”
Pada sebagian hadits, berarti tidak sempurna, yakni tidak mendapatkan pahala. Seperti hadits “wanita yang dimarahi suami, orang yang menemui dukun, dan orang yang meminum khamr, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
“Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Orang yang shalat dengan mengenakan baju yang dibeli dengan uang yang tercampur dengan yang haram, niscaya shalatnya tidak diterima.” Maksudnya kewajibannya telah ia lakukan, namun tidak berpahala.
Untuk membedakan antara dua maksud di atas, harus didukung dengan dalil-dalil penunjang.

4. Membersihkan harta dari barang haram.
Jika seseorang memiliki harta yang haram, maka ia wajib membersihkannya. Yaitu dengan cara menshadaqahkannya, dan pahalanya bagi pemilik harta.
‘Atha’ bin Rabah berpendapat, harta tersebut dishadaqahkan dan tidak berpahala. Imam Syafi’i berpendapat, harta tersebut disimpan hingga diketahui pemiliknya. Fudhail bin Iyadh berpendapat, harta tersebut dimusnahkan. Karena tidak diperbolehkan bershadaqah dengan sesuatu yang tidak baik. Ibnu Rajab berkata: “Pendapat yang benar adalah dengan menshadaqahkannya, karena memusnahkan harta adalah tindakan yang dilarang. Menyimpannya hingga diketahui pemiliknya, juga rentan rusak atau dicuri orang. Jadi sebaiknya dishadaqahkan, dan pahalanya untuk pemilik harta tersebut.

5. Sebab dikabulkannya doa.
a. Perjalanan jauh.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga doa yang pasti dikabulkan: doa orang yang didhalimi, doa musafir dan doa orang tua terhadap anaknya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Perjalanan jauh menjadi sebab dikabulkannya doa karena beban yang dirasakan sangat berat. Semakin lama suatu perjalanan, doa akan semakin dikabulkan.
b. Baju yang kusut dan kondisi tubuh yang sangat lelah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang kondisinya seperti ini [karena lelah atau pun kemiskinan] andai dia berdoa tentulah Allah akan mengabulkan.
Diriwayatkan pula bahwa ketika melakukan shalat istisqa’ Rasulullah saw. menggunakan pakaian yang lusuh dan bersikap rendah hati.
c. Menengadahkan kedua tangan.
Di samping penyebab dikabulkannya doa, mengangkat tangan juga merupakan adab dalam bedoa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Pemalu dan Pemurah. Ia malu untuk tidak mengabulkan permohonan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dalam berdoa.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Ketika shalat istisqa’, Rasulullah saw. juga mengangkat kedua tangannya hingga tampak ketiaknya yang putih. Juga ketika beliau berdoa meminta kemenangan atas orang-orang musyrik pada saat perang Badar, hingga sorbannya terjatuh.
d. Betul-betul berharap kepada Allah.
Ini merupakan penyebab terbesar dikabulkannya doa. Pengharapan yang besar tersebut diwujudkan dengan mengulangi penyebutan Rububiyah Allah swt.
Al-Bazzar meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang hamba berkata, “Ya Rab, empat kali, niscaya Allah berfirman: “Kupenuhi panggilanmu wahai hamba-Ku, mintalah sesuatu niscaya akan Aku beri.”

6. Penghalang doa
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan adalah selalu menggunakan barang haram, baik makanan, minuman maupun pakaiannya.

7. Doa adalah inti dari ibadah, karena seseorang berdoa kepada Allah swt. manakala tidak ada lagi yang bisa diharapkan kecuali Dia. ini adalah esensi tauhid dan inti dari keikhlasan.

8. Hadits ini mendorong kita untuk berinfa dengan harta yang halal, dan melarang untuk berinfaq dengan harta yang tidak halal.

9. Barangsiapa yang menghendaki doanya dikabulkan maka harus senantiasa memperhatikan yang halal, baik makanan maupun pakaiannya.

10. Allah akan menerima dan memberkahi infak dari harta yang baik.

disalin dari kitab : al - wafi imam An-nawawi karangan DR.Musthafa Dieb al-Bugha)h
no image

syarah Hadits Arba’in ke 9 (Memilih yang Mudah dan Meninggalkan yang Sulit)













عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]


Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang kularang jauhilah, dan apa yang aku perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini sangat penting, karenanya layak untuk dihafal dan dikaji. Imam Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat penting dan merupakan Jawami’ul Kalimm (ucapan yang singkat dan padat), yang hanya dimiliki Rasulullah saw. Di dalamnya mencakup berbagai hukum yang jumlahnya tidak terbatas.” Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Merupakan dasar agama dan rukun Islam, maka patut dihafal dan diperhatikan.” Ungkapan senada juga banyak dilontarkan oleh ulama-ulama lain.

Yang menjadikan hadits ini sangat penting, adalah perintah untuk senantiasa komitmen terhadap syariat Allah swt, baik yang berupa larangan maupun perintah, tanpa melakukan penambahan atau pengurangan.

LATAR BELAKANG HADITS

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulallah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah diam. Hingga orang tadi mengulanginya sampai tiga kali. Maka Rasulullah pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentulah akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalian tidak akan mampu.”
Setelah itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku larang sesuatu maka tinggalkanlah.” (Shahih Muslim, al-Hajj, Fardhul Hajji Marrotan fil Umri. Hadits nomor 1337)

Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis ra. Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa Aqra’ bin Habis bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulallah, haji dilakukan setiap tahun atau sekali?” Rasulullah menjawab, “Sekali, dan barangsiapa yang mampu maka kerjakanlah dengan segala kerelaan.” (Sunan Ibnu Majah, Fardhul Hajji, hadits no. 2886)

Abu Dawud dan al-Hakim juga menyebutkan riwayat senada (Sunan Abu Dawud no. 1721, dan al-Mustadrak, al-Manasik).
Ada yang menyebutkan bahwa pidato Rasulullah saw. di atas dilakukan ketika haji wada’. Saat itu Nabi berdiri di hadapan kaum Muslimin dan berkhotbah menerangkan rambu-rambu agama dan berbagai kewajiban dalam Islam.

KANDUNGAN HADITS

1. Apa yang aku larang, maka juhilah.
Larangan dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai berbagai pengertian, namun demikian kesemuanya mengacu pada dua hal, yaitu haram dan makruh.

a. Larangan yang sifatnya haram.
Adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa berbuatan tersebut adalah haram. Jika perbuatan ini dilanggar maka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, sesuai dengan ketentuan syara’, baik di dunia maupun di akhirat.

Contoh larangan yang bersifat haram adalah: larangan berzina, minum minuman keras, makan barang riba, mencuri, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah, membuka aurat di depan orang yang bukan muhrim, berdusta, menipu, suap, ghibah, namimah, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan lain yang jelas-jelas dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Semua perbuatan itu harus ditinggalkan seketika. Seorang muslim tidak boleh melakukannya kecuali dalam keadaan darurat [terpaksa]. Itupun dengan berbagai syarat dan aturan yang ditetapkan oleh syariat.

b. Larangan yang sifatnya makruh
Larangan ini kadang disebut dengan nahy tanzihi. Merupakan larangan terhadap suatu perbuatan, namun dalil-dalil yang ada tidak menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya haram. Namun hanya bersifat makruh. Jika larangan tersebut dilanggar, maka tidak ada hukuman.

Contoh, larangan yang bersifat makruh: larangan makan bawang mentah [baik merah maupun putih] atau yang sejenisnya [berbau] bagi yang masuk masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai larangan tersebut boleh dilakukan baik sedikit maupun keseluruhan, meskipun sebaiknya ditinggalkan.

2. Keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya melanggar larangan.
Kita mengetahui bahwa setiap yang diharamkan, maka wajib dijauhi. Namun seseorang kadang mengalami kondisi yang memaksanya untukmelakukan sesuatu yang diharamkan. Andai ia tidak melakukannya, tentu akan berakibat fatal bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini syariat memberikan keringanan, dengan membolehkan orang yang terpaksa, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya [dalam kondisi normal] dilarang.

Allah berfirman: “….Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia sebenarnya tidak sengaja dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)

Ayat ini lah yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk merumuskan kaidah fiqih, “Adl-Dlaruratu tubihul mahdhurat” yakni keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya larangan-larangan.

Sebagai contoh dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang tidak memiliki makanan sama sekali, dibolehkannya membuka aurat dalam rangka berobat ke dokter, tidak diterapkannya hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri karena terpaksa, dan lain sebagainya.

Meskipun demikian perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang memahami kaidah ini secara global tanpa merinci pengertian dan batasan-batasan darurat [keterpaksaan], dan tidak memahami sejauh mana dibolehkannya melakukan sesuatu yang haram dalam kondisi terpaksa. Karenanya masalah ini harus kita perhatikan benar-benar hingga kita tidak terperosok ke dalam satu kesalahan.

Para ulama, membatasi keterpaksaan pada kondisi yang dialami seseorang dan kondisi tersebut benar-benar mengancam nyawanya, mengancam hilangnya salah satu anggota tubuhnya, menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kehidupan secara normal atau menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditanggung. Para ulama juga membatasi sejauh mana seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan terpaksa. Batasan ini tertuang dalam sebuah kaidah berikut ini, “Keadaan darurat itu disesuaikan kadar kebutuhannya.” Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah, “..tidak sengaja dan tidak melampaui batas….” (al-Baqarah: 173)

Dengan demikian seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang [dalam keadaan terpaksa] sekedar memenuhi kebutuhan. Karenanya barangsiapa yang terpaksa hingga harus makan bangkai maka ia tidak boleh memenuhi perutnya dengan bangkai, terlebih menyimannya.

Barangsiapa terpaksa mencuri untuk memberi makan keluarganya, maka ia tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhannya sehari semalam. Barangsiapa terpaksa membuka aurat di depan dokter untuk kepentingan pengobatan maka tidak boleh membuka di tempat lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengobatan. Bukan merupakan keterpaksaan bagi wanita berobat ke dokter laki-laki, padahal ada dokter wanita.

Bukan suatu keterpaksaan sebah usaha yang bertujuan menumpuk kekayaan dunia, memenuhi kebutuhan mewah dan bahkan mencontoh kebiasaan masyarakat yang sok modern dan senantiasa memburu barang impor. Modal yang sedikit bukanlah keterpaksaan untuk melakukan riba [hutang di bank] hingga ia bisa mengembangkan usaha. Rumah yang sederhana dan kecil bukanlah keterpaksaan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan rumah yang besar dan mewah. Bukan suatu keterpaksaan bagi wanita yang memiliki suami untuk bekerja di luar rumah bahkan ikhtilaf dengan para lelaki yang bukan muhrimnya. Bahkan seandainya ia harus mencari nafkah, dan ada peluang kerja yang bebas ikhtilaf, maka ia tidak boleh memilih tempat kerja yang berikhtilaf. Semua itu dilandaskan pada kaidah, Dar’ul Mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih [meninggalkan pintu-pintu kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkann pintu-pintu kebaikan].

Barangsiapa yang sedang melakukan urusan dengan orang lain, atau sebuah instansi, bukanlah suatu keterpaksaan hingga ia main suap, agar urusannya mudah. Barangsiapa yang bergaul dengan masyarakat atau berusaha untuk mendekati dan mendakwahi seseorang, maka bukan merupakan suatu keterpaksaan, kalau ia harus menemaninya di meja judi, di kedai-kedai minuman keras, di tempat-tempat mesum dan mendiamkan kemunkaran yang terjadi.
Demi mendapatkan kasih sayang suami, seorang istri tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang melanggar syariat.

3. Komitmen terhadap perintah.
Perintah, dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai pengertian beragam. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa asal kata perintah adalah thalab [permintaan]. Permintaan ini mencakup dua hal yang asasi, yaitu: wajib dan sunnah. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi, “Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian.” Artinya, sesuatu yang diperintahkan baik bersifat wajib maupun sunnah.

a. Perintah yang bersifat wajib
Perintah wajib adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada umat Islam untuk melakukan sesuatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut wajib. Maka perintah tersebut wajib dilaksanakan dan jika ditinggalkan tentu akan mendapat hukuman, dan jika dilakukann maka akan mendapat pahala.
Contohnya: perintah untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa, amar ma’ruf nahi munkar, menepati janji, menerapkan hukum Allah dan berbagai perbuatan lainnya yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dalam bentuk yang mengikat.
Semua perintah tersebut wajib dilaksanakan dan sedikitpun tidak boleh disepelekan. Kecuali jika hilang salah satu syarat diwajibkannya atau karena adanya halangan dalam pelaksanaannya.

b. Perintah yang bersifat sunnah
Adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada kaum muslimin untuk melakukan suatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut sunnah. Artinya, seorang muslim tidak wajib melakukan perbuatan tersebut. Jika ditinggalkan, maka tidak mendapatkan hukuman. Namun jika dikerjakan maka akan mendapat pahala, contohnya: perintah untuk melakukan shalat Rawathib [sunnah], perintah adzan, perintah untuk memperbanyak nafkah untuk keluarga, perintah infak untuk kebaikan, perintah untuk mencatat hutang, perintah makan dengan tangan kanan, dan berbagai perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya namun dalam bentuk yang tidak mengikat.

Sebagai seorang muslim tentu lebih baik mengerjakan perintah-pertintah ini, meskipun boleh ditinggalkan. Karena dengan melakukannya seseorang akan mendapatkan pahala. Meskipun demikian tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.

4. Kesukaran mendatangkan kemudahan.
Kita ketahui bahwa syariat Allah menghendaki terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itulah, terdapat berbagai kemudahan bagi seorang hamba. Allah swt berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesusahan.” (al-Baqarah: 180)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan satu kesulitan untuk kamu dalam urusan agama.” (al-Hajj: 78)

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Maka mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR Bukhari)
Karena itulah Allah membolehkan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa dan melakukan perjalanan atau sakit, membolehkan untuk meng-qashar shalat bagi orang yang bepergian, membolehkan tayamum bagi orang yang hendak berwudlu tapi tidak menemukan air atau karena kulitnya tidak boleh terkena air [karena sakit], dan berbagai hal lainnya yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah rukhshah [dispensasi].

Berdasarkan pada realita bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, dan dari hadits yang menjadi tema utama, maka para ulama menyimpulkan kaidah al-asyaqqah tajlibut taisiir [kesukaran itu menyebabkan adanya kemudahan]. Kaidah ini mempunyai pengertian bahwa ketika seseorang berada dalam suatu kondisi yang sangat sulit dan berat baginya untuk melaksanakan suatu kewajiban, maka kesusahan tersebut merupakan penyebab untuk mendapat kemudahan dan keringanan, hingga ia bisa menunaikan dengan mudah.

Contoh pelaksanana kaidah ini adalah toleransi terhadap sebagian benda najis karena susah dihilangkan. Misalnya darah yang diakibatkan karena lua, darah yang sangat sedikit [contohnya darah nyamuk], tanah jalan yang kadang bercampur dengan najis dan lain sebagainya. Semua najis di atas bisa ditoleransi [dianggap bersih]. Karena jika tidak maka akan sangat merepotkan. Ini adalah bentuk dari keringanan di atas.

Contoh lain dari bentuk kemudahan ini adalah toleransi terhadap ketidakjelasan satu transaksi, misalnya WC umum. Meskipun tarif perorang jelas, namun jangka waktu orang yang masuk WC berbeda-beda, bahkan jumlah pengguna air masing-masing orang juga berbeda. Namun demikian masalah ini tidak bisa dibatasi, misalnya masuk WC lebih dari dua jam biayanya dua kali lipat, karena akan sangat merepotkan. Maka untuk mengatasi masalah ini syara’ memberi keringangan dan menganggap transaksi yang demikian sah adanya.

Batasan-batasan kondisi sulit yang mendapatkan kemudahan.
Kondisi sulit kadang menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian orang. Ada yang menyangka bahwa setiap kesulitan meskipun dalam bentuk yang paling sederhana dapat menyebabkan kemudahan sehingga mereka sering menggunakannya sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban. Karena itulah para ulama kemudian menjelaskan berbagai batasan dan rambu-rambu terhadap kondisi sulit yang mendapatkan keringanan.

Kesulitan yang selalu menyertai pelaksanaan kewajiban, karena merupakan karakter dari kewajiban tersebut. Kesulitan seperti ini tidak akan mendapatkan keringanan sama sekali. Misalnya seorang yang berpuasa tidak boleh berbuka, karena rasa lapar. Seorang muslim yang mampu untuk menunaikan ibadah haji, tidak boleh menolak untuk melaksanakan, dengan alasan ibadah haji itu berat baginya, harus menempuh jarak yang jauh dan meninggalkan keluarga. Seorang muslim tidak boleh meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan karena kewajiban ini beresiko pada dirinya. Semua ini bukan merupakan alasan karena merupakan konsekuensi yang lazim.

Kesulitan yang yang bukan merupakan karakter sebuah kewajiban. Kesulitan seperti ini dalam beberapa kondisi mendapatkan keringanan, karena bukan merupakan karakter kewajiban dan bahkan tidak terjadi ketika dalam keadaan normal. Para ulama membagi kesulitan ini dalam dua tingkatan:

a. Kesulitan yang ringan, misalnya: perjalanan singkat , sakit ringan, kekurangan harta dan sebagainya. Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak mempunyai pengaruh terhadap kewajiban dan tidak mendapatkan keringanan. Karena maslahat yang didapat dengan menjalankan kewajiban lebih besar dari kesulitan yang ia rasakan.

b. Kesulitan yang besar, yang bisa mengancam jiwa, harta atau kehormatannnya. Misalnya ada orang yang hendak menunaikan ibadah haji, namun ia mengetahui bahkan keadaan perjalanan sedang tidak aman, seperti banyak perampokan atau di sekitar rumahnya sendiri banyak terjadi perampokan, lalu ia khawatir kejadian seperti ini dapat mengancam diri, harta, atau keluarganya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menunda keberangkatan.

5. Bagian kewajiban yang mudah tidak boleh ditinggalkan karena adanya bagian yang sulit [al maysur laa yasyuthul bil ma’sur].
Satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ulama dengan mengacu pada hadits di atas. Imam Suyuthi dalam kitab Asybah wa An-Nadhir menyebutkan bahwa Ibnu Subky berkata, “Kaidah tersebut termasuk kaidah yang paling masyhur yang dipetik dari hadits Nabi, ‘Jika aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.’”
Maksudnya, dalam kondisi tertentu kadang-kadang seorang muslim tidak bisa menjalankan suatu kewajiban secara utuh. Maka ia diharuskan melakukan bagian yang ia mampu. Bagian-bagian yang sulit tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan semua bagian kewajiban.

Contoh: ketika hendak shalat, ia tidak bisa berdiri, maka ia tetap harus melakukan shalat dengan kondisi yang bisa ia lakukan. Contoh lain, seseorang yang hendak berwudlu dan hanya mendapatkan air yang sangat sedikit yang diperkirakan tidak mencukupi untuk membasuh bagian-bagian yang wajib, maka ia tidak boleh langsung melakukan tayamum. Ia harus terlebih dahulu berwudlu dengan air yang ada, siapa tahu mencukupi. Namun jika memang tidak mencukupi barulah ia bertayamum. Seorang muslim yang mendapatkan penutup aurat yang hanya cukup untuk menutupi sebagian saja maka ia haru menutupi sebagian itu. Seorang yang sembuh dari sakitnya di siang bulan Ramadlan, hendaklah ia menahan hal-hal yang membatalkan puasa, begitu juga wanita yang selesai haidnya, serta lain-lainnya.

Kaidah ini juga didasari sebuah hadits berikut. Amra bin Husain berkata, “Saya mempunyai sakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. perihal pelaksanaan shalat.” Nabi bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa maka dengan duduk, jika tidak bisa maka dengan berbaring.” (HR Bukhari)

Semua yang ada dalam syariat Allah, baik haram, makruh, wajib, maupun sunnah, semuanya masih berada dalam kemampuan manusia, karena Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Allah berfirman yang artinya: “Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)

Karenanya, pelaksanaan kewajiban dalam bentuknya yang sempurna, hanya bisa dicapai dengan menjauhi segala larangan dan melaksanakan semua perintah sesuai dengan penjelasan di atas. Allah berfirman yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian perintah, dan melanggar sebagian larangan, maka orang tersebut belum melaksanakan kewajiban secara sempurna. Karena seorang muslim dituntut untuk mencontoh Rasulullah saw. dalam masalah apapun, kecuali perkara-perkara yang dikhususkan untuk Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

6. Menjauhi larangan dan mengikis sumber kemaksiatan.
Dalam syariat terdapat berbagai penghalang agar manusia tidak terjerumus pada kejahatan atau hanya terkena bibit-bibit kerusakan. Karenanya kita dapat perhatikan terhadap larangan lebih besar dibandingkan dengan perhatian terhadap perintah. Namun demikian bukan berarti meremehkan perintah, tetapi sikap tegas terhadap setiap larangan, terutama yang bersifat haram. Karena larangan yang ada, tidak lain karena adanya bahaya dan kerusakan pada perkara-perkara yang dilarang tersebut. Karenanya larangan tidak boleh dilanggar, kecuali dalam kondisi terpaksa.

Dewasa ini kita temukan banyak kesalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka begitu kuat dalam menjalankan perintah, bahkan dalam masalah sunnah sekalipun. Namun mereka sering menyepelekan larangan, bahkan melanggarnya. Contohnya betapa banyak dalam masyarakat kita orang yang senantiasa puasa, shalat, bahkan qiyamul lail tiap malam, namun ia tetap menjalankan bisnisnya secara riba. Contoh lain, wanita yang mengeluarkan zakat hartanya secara sempurna, tetapi ia tetap tidak mengenakan jilbabnya. Semua itu tentunya tidak sesuai dengan syariat, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang bersama mereka dalam gerbong ketakwaan. Karena dasar ibadah adalah menjauhi semua larangan Allah. Hal ini merupakan jalan kesuksesan untuk memerangi nafsu. Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah berbagai larangan, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling baik ibadahnya.” (HR Tirmidzi)

‘Aisyah ra. berkata, “Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang lebih utama dari orang yang ahli ibadah, hendaklah ia menjauhi dosa.”
Ketika ditanya tentang orang-orang yang tergiur oleh kemaksiatan akan tetapi tidak melakukannya, Umar ra. berkata, “Mereka adalah orang-orang yang hatinya mendapat ujian dari Allah. Mereka akan mendapat ampunan dan pahala kebaikan yang besar.”

Ibnu ‘Umar berkata, “Beberapa dirham yang dijauhkan dari yang haram, jauh lebih baik daripada bershadaqah seratus ribu dirham.”
Hasan Bashri berkata, “Tidak ada ibadah yang lebih baik dari meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah swt.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Takwa bukan sekadar qiyamulail dan puasa di siang hari. Akan tetapi melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. jika ditambah dengan amal perbuatan yang lain, maka itu lebih baik lagi.”

Semua itu mengisyaratkan kepada kita bahwa meninggalkan maksiat lebih utama daripada menjalankan perintah. Namun sekali lagi, bahwa hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim bisa meremehkan kewajiban. Sebagaimana yang sering diutarakan oleh orang-orang yang hatinya sakit. Mereka tidak menjalankan kewajiban sedikitpun, namun mereka mengklaim bahwa lebih bertakwa daripada orang-orang yang shalat, puasa dan melakukan berbagai ibadah lainnya. Karena mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Mereka bergaul di tengah masyarakat dengan baik, tidak pernah membuat onar dan lain sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang menyimpang jauh dari ajaran Islam, bahkan menyelewengkan maksud dan pengertian Islam yang sebenarnya.

7. Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat [dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih].
Ini adalah satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ahli fiqih dari ketegasan syariat dalam masalah larangan. Maksudnya, manakala suatu perkara memiliki sisi manfaat dan sisi mafsadah [kerusakan]. Jika diperhatikan sisi manfaat maka akan timbul mafsadah, dan jika diperhatikan sisi mafsadah maka akan hilang manfaatnya. Dalam kondisi seperti ini yang harus diperhatikan adalah sisi mafsadah. Karena kerusakan mudah sekali menjalar, seperti api yang melahap kayu bakar.

Contoh: tidak diperbolehkan menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr, meskipun ia berani membayar dengan harga yang sangat tinggi. Tidak diperbolehkan membuat atau menjual khamr, meskipun mendatangkan keuntungan yang besar. Wanita tidak boleh bekerja ditempat yang bercampur dengan laki-laki yang bukan muhrim. Begitu juga dengan kaum laki-laki. Karena sisi negatifnya lebih dominan.

Kaidah ini juga didukung hadits Nabi yang melarang wanita melakukan perjalanan seorang diri, tanpa disertai suami atau salah satu mahramnya. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, melalukan perjalanan dengan jarak yang ditempuh selama satu hari, kecuali dengan mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui bahwa yang menjadi tolok ukur maslahat dan mafsadah yang terdapat dalam perkara itu adalah kebiasaan yang sudah lazim. Karenanya, jika sebuah perbuatan, biasanya mendatangkan mafsadah, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan.
Mafsadah di sini bukanlah mafsadah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan maslahatnya. Misalnya ada satu perbuatan yang mengandung mafsadah. Namun perbuatan itu juga jelas-jelas membawa manfaat yang lebih besar dari mafsadah yang ditimbulkan. Maka perbuatan tersebut boleh dilakukan , mengingat besarnya maslahat yang akan ditimbulkan.

Contoh: memotong bagian tubuh yang terluka untuk menyelamatkan nyawa orang tersebut. Karena jika dibiarkan maka keselamatan nyawa orang tersebut akan terancam. Berbohong dalam rangka menyelesaikan permusuhan dua orang yang bertikai. Karena jika pertikaian tersebut dibiarkan, maka akan mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan atau bahkan kekacauan yang semakin meluas.

8. Penyebab kehancuran umat terdahulu.
Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Yaitu banyak bertanya yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.

Rasulullah saw. telah melarang para shahabat agar tidak banyak bertanya, karena dikhawatirkan [dengan jawaban yang diberikan] justru memberatkan mereka, agar tidak disibukkan oleh hal-hal yang tidak ada gunanya, dan sebagai langkah prefentif dari sikap saling bantah yang tidak ada ujungnya.

Bukhari meriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah saw. melarang “qila wa qol” [ucapan yang belum jelas sumbernya], banyak bertanya dan menghamburkan harta. Karenanya kita dapati para shahabat, Muhajirin dan Anshar, tidak menanyakan sesuatu pun meskipun mereka ingin mengetahuinya. Sebagai aplikasi dari larangan tersebut. Merekalah generasi terbaik yang menjadikan segala kehendaknya mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw. Atau bisa juga karena mereka tidak perlu bertanya, karena mereka hidup bersama Rasulullah saw. yang segera menyampaikan kepada mereka setiap wahyu yang turun.

Kenyataannya wahyu dari langit tidak putus hingga akhir wafat Nabi saw. Setiap terjadi suatu peristiwa, Rasulullah saw. segera menjelaskan kepada mereka, berbagai perkara yang mereka butuhkan berkaitan dengan masalah agama, meskipun tanpa didahului pertanyaan, sehingga tidak menyebabkan keraguan, atau agar mereka tidak terjerumus dalam kesesatan. Allah swt. berfirman, “Allah menjelaskan kepada kalian, agar kalian tidak tersesat.” (an-Nisaa’: 176)

Dengan demikian, tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan. Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap apa yang datang dari Nabi saw. dan kemudian merealisasikannya dalam bentuk konkret.

Dalam menafsirkan ayat, “Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu.” (al-Maa-idah: 101) Ibnu Abbas ra. mengatakan, “Tunggulah. Jika turun ayat al-Qur’an janganlah kalian bertanya sesuatu karena kalian akan mendapatkan penjelasannya.”

Adapun bagi orang-orang Arab Badui dan para utusan dari luar Madinah yang tidak selalu bersama dengan wahyu, maka Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk mengajukan pertanyaan, dengan demikian mereka bisa mendalami urusan agama. Keringanan ini akhirnya menjadikan beberapa orang [di luar Madinah] untuk tidak hijrah ke Madinah. Namun lebih memilih tinggal di Madinah sebagai pengunjung. Dengan demikian mereka mendapatkan keringanan dari Nabi untuk bisa bertanya.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nawas Ibnu Sam’an berkata, “Saya tinggal bersama Rasulullah saw. di Madinah selama setahun. Satu hal yang membuat saya tidak hijrah adalah keinginan bertanya. Karena di antara kami jika sudah hijrah, ia tidak bisa lagi bertanya kepada Rasulullah.”

Maksud dari ucapan ini adalah bahwa ia tidak melakukan hijrah dan menetap di Madinah lantaran ia senang untuk bertanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan-pertanyaan mereka ini kadang sesuai dengan apa yang ingin diketahui oleh para Muhajirin dan Anshar [penduduk Madinah], sehingga mereka senang hati. Terlebih jika jawaban yang diberikan Rasulullah adalah kabar gembira tentang hal-hal yang mengantarkan masuk surga.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Rasulullah saw. melarang kami untuk bertanya kepadanya. Karenanya, kami senang jika ada orang Badui yang datang dan bertanya kepada Rasulullah saw. Kami pun mendengarkan.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Seorang laki-laki Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “…Ya Rasulallah, kapan hari kiamat tiba?” Rasulullah menjawab, “…Hus Apa yang telah engkau persiapkan?” Orang itu menjawab, “Saya belum menyiapkan melainkan kecintaan saya kepada Allah dan rasul-Nya.” Rasulullah pun bersabda, “Kamu bersama orang-orang yang kamu cintai.” Kami pun bertanya, “Kami juga?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Saat itu kami sungguh sangat senang.

9. Macam-macam pertanyaan.
a. Pertanyaan yang diperintah
- Bersifat fardlu ‘ain,
Karena setiap orang wajib menanyakannya. Adapun pertanyaan yang bersifat fardlu ‘ain adalah pertanyaan yang berkenaan dengan urusan agama yang harus ia lakukan. Seperti yang berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji, jual beli, nikah dan perkara-perkara lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing mukallaf [orang yang sudah dibebani kewajiban]. Allah berfirman: “Maka tanyakanlah kepada orang yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Dalam hadits Nabi disebutkan, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Baihaqi) termasuk wanita muslimah.

- Fardlu kifayah
Artinya tidak semua orang wajib menanyakannya, cukup sebagian saja. yang terpenting, ada orang yang menanyakanya. Karena jika tidak ada yang bertanya maka seluruh kaum muslimin mendapat dosa. Pertanyaan yang sifatnya fardlu kifayah ini adalah pertanyaan yang bertujuan untuk mendalami permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqih, mendalami hadits, tafsir dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti ini bukan hanya bertujuan untuk pengamalan, namun juga bertujuan untuk menjaga kemurnian agama, mengeluarkan fatwa, mengemban amanah dakwah dan untuk mengajarkan kepada masyarakat berbagai masalah yang diperlukan, sehingga mereka tidak terperosok ke dalam lembah kesesatan.

Firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

Makna senada juga diisyaratkan Nabi melalui haditsnya,”Hendaklah orang yang hadir mengajarkan kepada orang yang tidak hadir.” (Muttafaq ‘alaiH)

Ketika Ibnu Abbas ra. ditanya perihal luasnya ilmu yang dimiliki, ia menjawab, “Saya dikaruniai Allah lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu berfikir.”

- Madub (dianjurkan)
Artinya, seorang muslim dianjurkan untuk menanyakannya. Contoh, menanyakan berbagai amalan sunnah, atau untuk memperjelas hal-hal seputar sah atau batalnya suatu perbuatan.

b. Pertanyaan yang dilarang
- Haram
Artinya orang yang bertanya akan mendapat dosa. Pertanyaan tentang sesuatu yang sengaja dirahasiakan oleh Allah, dan telah ditegaskan bahwa masalah tersebut menjadi urusan Allah. Misalnya tentang waktu tibanya kiamat, hakekat ruh, rahasia qadla’ dan adar dan lain sebagainya.

- Pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Sekelompok orang bertanya kepada Nabi, dengan maksud mengejek. Salah satu di antara mereka ada yang bertanya, “Siapa bapakku?” sementara yang lain kehilangan untanya dan bertanya, “Dimana untaku?” maka turunlah ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu bertanya kepada Nabimu, hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (al-Maidah: 101)

- Bertanya tentang mukjizat dengan sikap menantang, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang musyrik.

- Menanyakan sesuatu yang rumit dan hampir tidak bisa dijawab.

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Muawiyah ra. bahwa Nabi saw. melarang alghuluthath, yaitu perkara-perkara yang sangat rumit. Larangan ini lebih disebabkan karena masalah-masalah tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi agama, bahkan mungkin tidak pernah terjadi.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Akan datang kepada umatku, suatu kaum yang menanyakan kepada para ulama berbagai permasalahan yang rumit, mereka inilah seburuk-buruk umatku.” (HR Thabrani)

a. Pertanyaan makruh, yakni lebih baik ditinggalkan. Walaupun jika ditanyakan tidak berdosa.

- Pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Yaitu pertanyaan yang tidak ada manfaatnya untuk dijawab, bahkan bisa jadi akan membuka aib si penanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang tidak disukainya. Ketika pertanyaan tersebut semakin banyak, beliau pun marah. Lalu beliau berkata, “Tanyakan kepadaku apa-apa yang ingin kalian tanyakan.” Salah seorang bertanya, “Siapa bapakku yan Rasulallah?” Nabi menjawab, “Bapakmu adalah Hudzaifah.” Yang lainnya bertanya, “Siapa bapakku ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Bapakmu adalah Salim, budaknya Syaibah.” Ketika Umar ra. mengetahui bahwa muka Rasulullah saw. mengisyaratkan kemarahan, ia pun berkata, “Ya Rasulallah, kami bertaubat kepada Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

- Bertanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh syara’. Artinya tidak ditegaskan halal atau haramnya. Karena dikhawatirkan justru akan semakin menambah beban.

Rasulullah bersabda, “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam lainnya, adalah menanyakan sesuatu yang sebenarnya didiamkan oleh syara’. Lantas karena pertanyaannya, menjadi diharamkan.” (HR Muslim)

Riwayat lain menyebutkan, “…Orang yang bertanya tentang sesuatu secara berlebihan.” Imam Nawawi berpendapat bahwa larangan ini khusus pada masa Nabi saw., setelah semua hukum syariat sempurna, larangan ini tidak berlaku lagi. Karena tidak ada kemungkinnan ditetapkannya suatu hukum baru.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang laki-laki lain yang kedapatan bersama istrinya. Yakni saat turun ayat tentang hukum bagi pelaku zina yang mensyaratkan adanya empat orang saksi. Ternyata Rasulullah tidak suka dengan pertanyaan itu.

b. Mubah
Yaitu pertanyaan-pertanyaan selain yang tercakup dalam jenis pertanyaan di atas. Imam Nawawi menukil dari al-Khathabi dan ulama lainnya, ketika mengomentari sabda Rasulullah saw., “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam…”: “Hadits ini ditujukan untuk orang yang bertanya secara berlebihan dan tidak ada gunanya. Sedangkan orang yang bertanya karena terpaksa maka tidaklah mengapa. Karena Allah swt. telah berfirman, “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang mengerti.” (al-Anbiyaa’: 7)

1. Memahami dan mengamalkan lebih diutamakan daripada bertanya.
Seorang Muslim hendaknya lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua masalah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Jika yang didapati adaplah perkara yang bersifat normatif, maka hendaklah ia meyakini kebenarannya. Namun jika yang didapat adalah perkara yang bersifat aplikatf, maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya. Barangsiapa yang bersegera melaksanakannya seperti ini, maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sedangkan orang yang menempuh kiat itu dan hanya disibukkan oleh berbagai pertanyaan yang menyeruak dalam jiwanya, maka ia termasuk orang-orang yang telah mendapat peringatan dari Rasulullah. Mereka ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan ahli kitab, yang binasa akibat banyak bertanya dan tidak mentaati perintah.

Demikianlah kondisi para shahabat dan Tabi’in, dalam menuntut ilmu yang bermanfaat, baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Ketika ditanya tentang mengusap Hajar Aswad, Ibnu Umar ra. berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana jika penuhh sesak dan aku tidak bisa mencapainya?” Ibnu Umar menjawab, “Tahukah kamu rukun Yamani? Aku melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” (HR Bukhari dan lainnya)
Yang dimaksud oleh Ibnu Umar ra. adalah tidak ada gunanya mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin atau sulit dilakukan, karena akan mengikis semangat untuk mengikuti sunnah.

2. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.

3. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.

Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”

Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”

Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”

Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”

Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”

4. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.

Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)

5. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:

“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)

Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)

Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)

Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)

6. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.

Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)

7. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.

Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)

8. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)

9. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:

“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.

Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)

Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.

10. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)

Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)

Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)

Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.

Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)

Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.

11. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.

12. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.

Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”

Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”

Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”

Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”

Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”

13. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.

Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)

14. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:

“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)

Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)

Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)

Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)

15. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.

Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)

16. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.

Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)

17. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)

18. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:

“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.

Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)

Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.

19. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)

Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)

Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)

Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.

Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)

Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.

20. Bisa disimpulkan bahwa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu

disalin dari kitab (Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha)
Copyright © 2012 Yayasan Amal Madani - Bersama merangkai potensi umat All Right Reserved
Designed by Odd Themes
Back To Top