Trending
Loading...
Wednesday 3 September 2014

Tadabbur Surat Al-Lail (Malam): Terminal Kepuasan yang Kekal (Bagian 1)

Mukaddimah
              Para ulama berbeda pendapat apakah Surat Al-Lail makkiyah atau madaniyah. Namun, menurut Jalaluddin as-Suyuthi, “Surat al-Lail lebih dikenal sebagai surat makkiyah” [1]. Surat al-Lail diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah surat al-A’la [2].
Surat ini membicarakan perbuatan dan amal manusia yang bermacam-macam. Perbedaan amal tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda pula, yaitu kebahagiaan dan kesengsaraan. Pada akhirnya semua bermuara pada ridha Allah yang dibalas dengan surga-Nya atau kemurkaan Allah yang diturunkan melalui neraka-Nya.
Surat ini juga menjelaskan kesalahan persepsi sebagian orang tentang harta. Namun hal tersebut tidak memberi manfaat sedikit pun di hari kiamat. Hal ini dilengkapi dengan contoh kebahagiaan yang dirasakan oleh orang yang bertakwa yang selalu menyucikan jiwanya [3].

Siang Malam Manusia Selalu Berusaha
            Dengan dimulainya sumpah Allah yang menggunakan pasangan waktu siang dan malam yang kemudian diikuti dengan sumpah menggunakan penciptaan laki-laki dan perempuan, lalu menjelaskan perbedaan perbuatan dan usaha manusia, mengindikasikan seolah manusia baik laki-laki atau perempuan siang atau malam selalu berusaha dan bekerja untuk menyambung hidup di dunia dan sebagian sadar juga meneruskannya untuk persiapan hidup di akhirat.
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang). Dan siang apabila terang benderang. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan”. (QS. 92: 1-3)
Sumpah di atas mengisyaratkan bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan Allah dengan berpasangan. Keduanya menjadi unsur penting dalam kehidupan. Keduanya saling terkait dan berhubungan. Maka keduanya juga saling melengkapi.
Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda”. (QS. 92: 4)
Ada yang konsisten menjaga amalnya agar selalu berada dalam kebaikan. Namun, sebaliknya, juga ada yang selalu berada dalam kejahatan. Di samping itu ayat di atas juga mengindikasikan bahwa manusia yang berbeda-beda juga memiliki perbuatan dan pekerjaan yang berbeda-beda. Baik pekerjaan dan amal duniawi maupun perbuatan atau amal ukhrawi juga bertingkat-tingkat. Maka sebagaimana perbedaan amal ini maka ganjaran dan balasannya kelak juga berbeda.

Perbuatan dan Konsekuensinya
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. (QS. 92: 5-7)
Orang-orang yang berani menginfakkan hartanya di jalan Allah. Ia tak pernah khawatir sedikit pun akan ditimpa kebangkrutan. Lalu ia juga bertakwa dan menjaga diri dari yang diharamkan Allah. Sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas ra [4]. Dan ia meyakini bahwa yang dilakukannya tidaklah sia-sia. Allah telah menjanjikan balasan yang sangat luar biasa. Maka ia mempercayainya dengan sepenuh hati. Menurut beberapa ulama dan ahli tafsir kata “al-Husna” di sini artinya bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya dengan surga [5]. Sebagian lain menafsirkannya sebagai lâ ilâha illalLâh [6], Islam [7], dan balasan Allah atas amal kebaikan [8]. Namun, semuanya tidaklah berlawanan arti karena muaranya sama yaitu Allah yang menjanjikan balasan bagi setiap amal baik yaitu surga melalui tuntunan agama Islam.
Maka sebagai konsekuensi dari kedermaan dan ketakwaan serta tsiqah billah ini membuahkan hasil yang manis berupa kemudahan. Yaitu kemudahan dalam membiasakan amal kebaikan serta kemudahan memperoleh kebahagiaan dan kelapangan hidup dan kelak dimudahkan jalannya menuju surga.
Ayat ini diturunkan untuk mengabadikan akhlak mulia Abu Bakar ra yang membeli Bilal bin Rabah dari Umayah bin Khalaf serta memerdekakan Bilal tanpa syarat apapun [9]. Zubair bin Awwam menceritakan bahwa pembelian Bilal dihina oleh banyak orang karena menurut mereka alangkah baiknya jika Abu Bakar membeli budak yang lebih baik dari Bilal. Tapi penghinaan ini tak digubris oleh Abu Bakar [10].
Menurut riwayat lain ayat ini diturunkan untuk mengapresiasi Abu Dahdah al-Anshary yang suatu hari berada di kediaman seorang munafik yang memiliki kurma. Ia melihat kurma-kurma tersebut berjatuhan ke rumah tetangganya yang yatim. Orang munafik tersebut mengambili kurma-kurma tersebut, khawatir akan diambil oleh anak-anak yatim tetangganya. Abu Dahdah al-Anshary berkata kepada mereka, “Biarkan saja itu untuk mereka maka engkau akan mendapat gantinya di surga”. Namun sang munafik tersebut tidak menggubrisnya. Abu Dahdah kemudian membelinya semuanya dan menghibahkannya untuk anak-anak yatim tersebut [11].
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak kami akan siapkan baginya (jalan) yang sukar”. (QS. 92: 8-10)
Sebaliknya orang yang bakhil dengan menimbun hartanya dan kikir dalam mendermakannya ia akan merasa berada dalam gelimangan harta. Ia mempresepsikan bahwa dengan harta ia bisa memiliki segalanya dan memenuhi semua keinginannya. Maka ia kemudian menjadi bertambah sombong. Allah pun tak lagi dianggapnya sebagai Tuhan yang memberinya karunia dan rizki yang lapang. Ia lupakan Allah. Ia dustakan ketuhanan-Nya. Ia ragukan keserbamahaannya. Maka ia pun meragukan janjinya. Bahkan ia dustakan sama sekali dan menganggap bahwa kebenaran hari akhir dan pembalasan amal hanya sebuah ilusi.
Maka orang yang memiliki karakter seperti di atas ini sangat layak bila diberikan kesulitan yang berlipat. Allah mudahkan baginya jalan kesukaran. Maka hidupnya akan dipenuhi kesulitan meski ia berlimpah harta. Hatinya tak tenang. Fisiknya digerogoti penyakit. Dan kelak saat maut menjemputnya ia baru merasakan kerugian dan petaka besar yang akan menyengsarakannya.
Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa”. (QS. 92: 11)
Taradda” artinya mati dan dikuburkan [12]. Ini merupakan kiasan dari kematian dan kebinasaan [13]. Harta yang ditimbun dan selalu dijaganya siang malam tersebut tak bisa menghalangi datangnya kehancuran dan kematiannya. Dan tak sepeserpun dari harta yang dikumpulkan tersebut yang ia bawa ke liang lahat. Jika pun orang yang masih hidup memaksakan untuknya membawa harta tersebut, hal itu tidaklah berguna. Bahkan kalau pun hal tersebut bisa terjadi ia akan berhadapan dengan makhluk yang tidak mengenal arti dunia. Maka ia takkan pernah bisa menyuapnya dengan harta. bersambung



Oleh : Dr. Saiful Bahri, MA


0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2012 Yayasan Amal Madani - Bersama merangkai potensi umat All Right Reserved
Designed by Odd Themes
Back To Top