Meneladani Sosok Pemimpin Qur'ani Dari khalifah Harun Ar-Rasyid
Dia adalah khalifah Abu Ja’far Harun bin al-Mahdi Muhammad bin al-Mansur Abu Ja’far Abdullah bin Muhmma bin Ali bin Abdullah bin Abbas al-Hasyimi al-Abbasi.
Dia termasuk raja terbaik pada masa kekhalifahan Abbasiah, terkenal dengan keshalehan, dan bijaksana, namun beliau juga seorang pemalu. Beliau pernah turut serta turun ke medan jihad dan berperang. Seorang laki-laki Quraisy yang pemberani, memiliki pendapat yang jitu, fasih bahasanya, berwawasan, dan memiliki kecakapan dalam tugas-tugas kenegaraan. Paza zaman pemerintahannya terjadi beberapa penaklukkan, di antaranya penaklukkan kota Heraclitos. Beliau meninggal saat berperang di Khurasan pada tahun 193 H (Siyar A’lam an-Nubala).
Ubaidillah al-Qawariri berkata, “Ketika Harun al-Rasyid bertemu dengan Fadhil, Fadhil berkata kepadanya, ‘Wahai orang tampan, engkaulah yang bertanggung jawab atas umat ini’.”
Laits juga berkata kepada kami (dari Mujahid), “Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS. Al-Baqarah: 166) Fadhil berkata, ‘Maksudnya adalah hubungan yang ada di antara manusia di dunia.’ Lalu Khalifah Harun al-Rasyid pun menangis tersedu-sedu. Keadaan hari itu benar-benar hadir dalam benaknya dan mempengaruhi jiwanya.
Tafsir Ayat:
Ibnu Jarir berkata, “Interpretasi yang benar terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali, adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala meberi tahu bahwa orang-orang kafir yang menzhalimi diri mereka sendiri dan mati dalam keadaan kafir, mereka akan terputus dari segala harta benda dan semua pengikut dan pembela yang setia kepada mereka. Dengan demikian mereka bertanggung jawab segala amal mereka sendiri karena terputusnya hubungan ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi tahu dalam kitab-Nya bahwa sebagian dari mereka akan saling melaknat lainnya. Setan akan berkata kepada para pengikutnya ‘Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku.’ (QS. Ibrahim: 22). Mereka akan saling bermusuhan pada hari itu kecuali orang-orang yang bertakwa.
Alla Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّا كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ {34} إِنَّهُم كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لآإِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُونَ {35}
“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya, ‘Kenapa kamu tidak tolong-menolong?’” (QS. Ash-Shaffat: 24-25)
Seorang diantara mereka tidak dapat mengambil manfaat (pertolongan) dari keturunan dan kerabatnya, meskipun keturunannya adalah wali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengenai hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَاكَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ للهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114).
Allah juga memberitahu bahwa amal-amal mereka akan menjadi penyesalan bagi mereka, karena semua yang akan mereka terima di akhirat merupakan akibat atas perbuatan mereka di dunia. Pemutusan amal dan pahala bagi orang-orang kafir dikarenakan oleh perbuatannya yang cenderung menyalahi kewajiban untuk taat kepada-Nya atau bertentangan dengan ridha-Nya.
Jadi, tidak ada kerabat yang dapat menolong mereka saat kembali menghadap Allah. Para kerabat tidak dapat membela mereka dari balasan yang Allah timpakan. Itulah maksud hubungan bagi orang-orang kafir akan terputus.
Kisah lainnya, suatu hari Khalifah Harun al-Rasyid duduk-duduk bersama para sahabat dan para menterinya, tiba-tiba datang seorang Yahudi yang mengatakan, “Bertakwalah engkau kepada Allah!”
Serta merta Harun al-Rasyid turun dari tempat duduknya dan bersujud kepada Allah. Para sahabat dan para menterinya mengatakan, “Ini orang Yahudi, tidak perlu dipedulikan ucapannya.” Mungkin menurut para sahabat beliau orang Yahudi ini hanya cari gara-gara, karena dia sendiri sangat jauh dari ketakwaan kepada Allah, hal itu terbukti dengan kekafirannya.
Namun Harun al-Rasyid mengatakan, “Aku takut termasuk dalam ayat
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِاْلأِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Baqarah: 206)
Demikianlah keadaan Harun al-Rasyid, seorang khalifah yang mulia, yang kekuasaannya terbentang luas dari daratan Benua Asia hingga ujung Benua Afrika, akan tetapi dengan kemuliaan tersebut beliau tetaplah seorang yang rendah hati dan sangat takut kepada Allah. Bagaimana dengan kita yang kekuasaan sejengkal bumi pun tidak kita miliki, akan tetapi hati kita begitu keras, jauh dari ketundukan dan rasa takut kepada Allah. Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada kita untuk mengamalkan apa yang Dia cintai dan ridhai.
www.pusatalquran.com
0 comments:
Post a Comment