Trending
Loading...
Thursday, 17 April 2014

Belajar dari cara dakwah Musa As



هلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَىٰ ﴿١٥﴾ إِذْ نَادَاهُ رَ‌بُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى ﴿١٦﴾ اذْهَبْ إِلَىٰ فِرْ‌عَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿١٧﴾ فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَىٰ أَن تَزَكَّىٰ ﴿١٨﴾ وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَ‌بِّكَ فَتَخْشَىٰ ﴿١٩﴾ فَأَرَ‌اهُ الْآيَةَ الْكُبْرَ‌ىٰ ﴿٢٠﴾ فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ ﴿٢١﴾ ثُمَّ أَدْبَرَ‌ يَسْعَىٰ ﴿٢٢﴾ فَحَشَرَ‌ فَنَادَىٰ ﴿٢٣﴾ فَقَالَ أَنَا رَ‌بُّكُمُ الْأَعْلَىٰ ﴿٢٤﴾ فَأَخَذَهُ اللَّـهُ نَكَالَ الْآخِرَ‌ةِ وَالْأُولَىٰ ﴿٢٥﴾ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَعِبْرَ‌ةً لِّمَن يَخْشَىٰ ﴿٢٦


Artinya: “Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa;. "Pergilah kamu kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas, Dan Katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)". Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?" Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi Fir´aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian Dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka Dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya.  (seraya) berkata: "Akulah Tuhanmu yang paling tinggi". Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).” (An Nazi’at: 15-26)

Saat membaca ayat ini, seketika teringat sebuah kisah menarik dalam sebuah fase kepemimpinan umat di era Umar. Saat terjadi peperangan terbesar di periode pemerintahan sang khalifah, yakni pada Perang Al Qadisiyah. Ketika itu, Rub'i bin Amir, seorang prajurit kavaleri muslim, dikirim untuk menemui panglima besar sekaligus Perdana Menteri Persia, Rustum. Ketika ditanya oleh Rustum, "apa yang mendorong kalian datang ke sini?" Rub'i menjawab, "Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia kepada keluasannya, dari kezhaliman agama-agama kepada keadilan Al-Islam. Maka Dia mengutus kami dengan agama-Nya untuk kami seru mereka kepadanya. Maka barangsiapa yang menerima hal tersebut, kami akan menerimanya dan pulang meninggalkannya. Tetapi barangsiapa yang enggan, kami akan memeranginya selama-lamanya hingga kami berhasil memperoleh apa yang dijanjikan Allah.”

Sebuah pernyataan yang tegas dan lugas. Sebentuk deklarasi ketinggian Al Islam dan hujjah (argumentasi) betapa kepemimpinan dalam konteks dakwah menuntut sebuah pengaruh yang besar bagi manusia. Ada totalitas yang ingin ditampakkan. Berupa bentuk penyerahan sepenuhnya kepada Allah. Sehingga ketika kita menyatakan ber-Islam maka sebuah konsekuensi logis jika harus ada perubahan yang asasi pada diri manusia. Bahwa dirinya berada dalam genggaman Sang Khaliq.

An Nazi’at: 15-26 menggambarkan proses dakwah yang begitu berat dijalankan oleh Musa AS. Betapa tidak dia hanya seorang kalangan rakyat biasa sebagaimana Bani Israil pada umumnya, harus berhadapan dengan penguasa tiran yang sangat keras kepala, sombong, diktator, sampai mengklaim dirinya tuhan. Ditambah pengalaman historis dahulu kala, dimana Fir’aun adalah ayah angkat Musa AS setelah diadopsi atas permintaan sang istri, Asiyah. Namun, bagi Musa semuanya itu adalah tantangan yang harus ia hadapi. Dalam rangka memenuhi perintah Allah: “idzhab…” (pergilah kamu….!) 

Sebuah perintah yang jelas lagi nyata. Maka tak heran jika Imam Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatut Tafasir-nya menafsiri setiap kalimat perintah dalam Al Qur’an dengan sebuah kaidah ushul fiqih: “al ashlu fil amri lil wajib” (pokok dari sebuah perintah adalah wajib).

Menyadari kewajibannya untuk menghadapi sang tiran, Musa as memilih materi dakwah yang spesial, yaitu tentang tazkiyatun nafs dan ajakan untuk takut kepada Allah. Sebuah madah dakwah (materi dakwah) yang memang sengaja ia pilih. Karena sungguh kelakuan Fir’aun begitu luar biasa. Manusia sepertinya terlebih dahulu harus disadarkan akan statusnya sebagai manusia yang mesti kembali pada fitrah penciptaan, mengakui dan akhirnya takut pada Tuhan.

Proses untuk senantiasa menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) juga Musa sampaikan kepada Fir’aun. Bayangkan betapa sabar dan sekaligus beraninya Musa. Mengapa? Karena dia berdakwah dengan memperlihatkan hujjah (argumentasi) yang kuat dan dalil yang jelas. Dia tidak asal bicara. Juga tidak berdasar pada asumsi belaka yang rawan akan penafsiran syahwati. Musa juga yakin bahwa dirinya membawa misi kebenaran dari sisi Rabb-nya. Ibnu Katsir menyatakan usaha dakwah Musa ditolak mentah-mentah oleh Fir’aun. Dikarenakan kekufuran yang mengakar kuat pada hatinya, Fir’aun enggan menerima ajakan Musa. Sama sekali tidak. Lahir dan batin dia ingkar.

Yah…materi dakwah Musa kala itu: tazkiyatun nafs dan ajakan agar takut kepada Allah. Itulah taqwa. Dan yang pasti dengan disertai hujjah Ilahiyah yang nyata kebenarannya. Ini semua keniscayaan yang semestinya melekat bagi setiap orang yang mengaku dirinya sebagai aktifis dakwah.

“Tidak akan sunyi bumi ini dari seorang pemimpin yang berdiri untuk Allah dengan hujjah-hujjahnya.” (Ali bin Abi Thalib R.A)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2012 Yayasan Amal Madani - Bersama merangkai potensi umat All Right Reserved
Designed by Odd Themes
Back To Top