syarah Hadits Arba’in ke 9 (Memilih yang Mudah dan Meninggalkan yang Sulit)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang kularang jauhilah, dan apa yang aku perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)
URGENSI HADITS
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini sangat penting, karenanya layak untuk dihafal dan dikaji. Imam Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat penting dan merupakan Jawami’ul Kalimm (ucapan yang singkat dan padat), yang hanya dimiliki Rasulullah saw. Di dalamnya mencakup berbagai hukum yang jumlahnya tidak terbatas.” Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Merupakan dasar agama dan rukun Islam, maka patut dihafal dan diperhatikan.” Ungkapan senada juga banyak dilontarkan oleh ulama-ulama lain.
Yang menjadikan hadits ini sangat penting, adalah perintah untuk senantiasa komitmen terhadap syariat Allah swt, baik yang berupa larangan maupun perintah, tanpa melakukan penambahan atau pengurangan.
LATAR BELAKANG HADITS
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulallah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah diam. Hingga orang tadi mengulanginya sampai tiga kali. Maka Rasulullah pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentulah akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalian tidak akan mampu.”
Setelah itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku larang sesuatu maka tinggalkanlah.” (Shahih Muslim, al-Hajj, Fardhul Hajji Marrotan fil Umri. Hadits nomor 1337)
Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis ra. Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa Aqra’ bin Habis bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulallah, haji dilakukan setiap tahun atau sekali?” Rasulullah menjawab, “Sekali, dan barangsiapa yang mampu maka kerjakanlah dengan segala kerelaan.” (Sunan Ibnu Majah, Fardhul Hajji, hadits no. 2886)
Abu Dawud dan al-Hakim juga menyebutkan riwayat senada (Sunan Abu Dawud no. 1721, dan al-Mustadrak, al-Manasik).
Ada yang menyebutkan bahwa pidato Rasulullah saw. di atas dilakukan ketika haji wada’. Saat itu Nabi berdiri di hadapan kaum Muslimin dan berkhotbah menerangkan rambu-rambu agama dan berbagai kewajiban dalam Islam.
KANDUNGAN HADITS
1. Apa yang aku larang, maka juhilah.
Larangan dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai berbagai pengertian, namun demikian kesemuanya mengacu pada dua hal, yaitu haram dan makruh.
a. Larangan yang sifatnya haram.
Adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa berbuatan tersebut adalah haram. Jika perbuatan ini dilanggar maka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, sesuai dengan ketentuan syara’, baik di dunia maupun di akhirat.
Contoh larangan yang bersifat haram adalah: larangan berzina, minum minuman keras, makan barang riba, mencuri, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah, membuka aurat di depan orang yang bukan muhrim, berdusta, menipu, suap, ghibah, namimah, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan lain yang jelas-jelas dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Semua perbuatan itu harus ditinggalkan seketika. Seorang muslim tidak boleh melakukannya kecuali dalam keadaan darurat [terpaksa]. Itupun dengan berbagai syarat dan aturan yang ditetapkan oleh syariat.
b. Larangan yang sifatnya makruh
Larangan ini kadang disebut dengan nahy tanzihi. Merupakan larangan terhadap suatu perbuatan, namun dalil-dalil yang ada tidak menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya haram. Namun hanya bersifat makruh. Jika larangan tersebut dilanggar, maka tidak ada hukuman.
Contoh, larangan yang bersifat makruh: larangan makan bawang mentah [baik merah maupun putih] atau yang sejenisnya [berbau] bagi yang masuk masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai larangan tersebut boleh dilakukan baik sedikit maupun keseluruhan, meskipun sebaiknya ditinggalkan.
2. Keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya melanggar larangan.
Kita mengetahui bahwa setiap yang diharamkan, maka wajib dijauhi. Namun seseorang kadang mengalami kondisi yang memaksanya untukmelakukan sesuatu yang diharamkan. Andai ia tidak melakukannya, tentu akan berakibat fatal bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini syariat memberikan keringanan, dengan membolehkan orang yang terpaksa, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya [dalam kondisi normal] dilarang.
Allah berfirman: “….Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia sebenarnya tidak sengaja dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Ayat ini lah yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk merumuskan kaidah fiqih, “Adl-Dlaruratu tubihul mahdhurat” yakni keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya larangan-larangan.
Sebagai contoh dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang tidak memiliki makanan sama sekali, dibolehkannya membuka aurat dalam rangka berobat ke dokter, tidak diterapkannya hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri karena terpaksa, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang memahami kaidah ini secara global tanpa merinci pengertian dan batasan-batasan darurat [keterpaksaan], dan tidak memahami sejauh mana dibolehkannya melakukan sesuatu yang haram dalam kondisi terpaksa. Karenanya masalah ini harus kita perhatikan benar-benar hingga kita tidak terperosok ke dalam satu kesalahan.
Para ulama, membatasi keterpaksaan pada kondisi yang dialami seseorang dan kondisi tersebut benar-benar mengancam nyawanya, mengancam hilangnya salah satu anggota tubuhnya, menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kehidupan secara normal atau menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditanggung. Para ulama juga membatasi sejauh mana seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan terpaksa. Batasan ini tertuang dalam sebuah kaidah berikut ini, “Keadaan darurat itu disesuaikan kadar kebutuhannya.” Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah, “..tidak sengaja dan tidak melampaui batas….” (al-Baqarah: 173)
Dengan demikian seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang [dalam keadaan terpaksa] sekedar memenuhi kebutuhan. Karenanya barangsiapa yang terpaksa hingga harus makan bangkai maka ia tidak boleh memenuhi perutnya dengan bangkai, terlebih menyimannya.
Barangsiapa terpaksa mencuri untuk memberi makan keluarganya, maka ia tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhannya sehari semalam. Barangsiapa terpaksa membuka aurat di depan dokter untuk kepentingan pengobatan maka tidak boleh membuka di tempat lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengobatan. Bukan merupakan keterpaksaan bagi wanita berobat ke dokter laki-laki, padahal ada dokter wanita.
Bukan suatu keterpaksaan sebah usaha yang bertujuan menumpuk kekayaan dunia, memenuhi kebutuhan mewah dan bahkan mencontoh kebiasaan masyarakat yang sok modern dan senantiasa memburu barang impor. Modal yang sedikit bukanlah keterpaksaan untuk melakukan riba [hutang di bank] hingga ia bisa mengembangkan usaha. Rumah yang sederhana dan kecil bukanlah keterpaksaan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan rumah yang besar dan mewah. Bukan suatu keterpaksaan bagi wanita yang memiliki suami untuk bekerja di luar rumah bahkan ikhtilaf dengan para lelaki yang bukan muhrimnya. Bahkan seandainya ia harus mencari nafkah, dan ada peluang kerja yang bebas ikhtilaf, maka ia tidak boleh memilih tempat kerja yang berikhtilaf. Semua itu dilandaskan pada kaidah, Dar’ul Mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih [meninggalkan pintu-pintu kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkann pintu-pintu kebaikan].
Barangsiapa yang sedang melakukan urusan dengan orang lain, atau sebuah instansi, bukanlah suatu keterpaksaan hingga ia main suap, agar urusannya mudah. Barangsiapa yang bergaul dengan masyarakat atau berusaha untuk mendekati dan mendakwahi seseorang, maka bukan merupakan suatu keterpaksaan, kalau ia harus menemaninya di meja judi, di kedai-kedai minuman keras, di tempat-tempat mesum dan mendiamkan kemunkaran yang terjadi.
Demi mendapatkan kasih sayang suami, seorang istri tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang melanggar syariat.
3. Komitmen terhadap perintah.
Perintah, dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai pengertian beragam. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa asal kata perintah adalah thalab [permintaan]. Permintaan ini mencakup dua hal yang asasi, yaitu: wajib dan sunnah. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi, “Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian.” Artinya, sesuatu yang diperintahkan baik bersifat wajib maupun sunnah.
a. Perintah yang bersifat wajib
Perintah wajib adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada umat Islam untuk melakukan sesuatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut wajib. Maka perintah tersebut wajib dilaksanakan dan jika ditinggalkan tentu akan mendapat hukuman, dan jika dilakukann maka akan mendapat pahala.
Contohnya: perintah untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa, amar ma’ruf nahi munkar, menepati janji, menerapkan hukum Allah dan berbagai perbuatan lainnya yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dalam bentuk yang mengikat.
Semua perintah tersebut wajib dilaksanakan dan sedikitpun tidak boleh disepelekan. Kecuali jika hilang salah satu syarat diwajibkannya atau karena adanya halangan dalam pelaksanaannya.
b. Perintah yang bersifat sunnah
Adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada kaum muslimin untuk melakukan suatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut sunnah. Artinya, seorang muslim tidak wajib melakukan perbuatan tersebut. Jika ditinggalkan, maka tidak mendapatkan hukuman. Namun jika dikerjakan maka akan mendapat pahala, contohnya: perintah untuk melakukan shalat Rawathib [sunnah], perintah adzan, perintah untuk memperbanyak nafkah untuk keluarga, perintah infak untuk kebaikan, perintah untuk mencatat hutang, perintah makan dengan tangan kanan, dan berbagai perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya namun dalam bentuk yang tidak mengikat.
Sebagai seorang muslim tentu lebih baik mengerjakan perintah-pertintah ini, meskipun boleh ditinggalkan. Karena dengan melakukannya seseorang akan mendapatkan pahala. Meskipun demikian tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.
4. Kesukaran mendatangkan kemudahan.
Kita ketahui bahwa syariat Allah menghendaki terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itulah, terdapat berbagai kemudahan bagi seorang hamba. Allah swt berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesusahan.” (al-Baqarah: 180)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan satu kesulitan untuk kamu dalam urusan agama.” (al-Hajj: 78)
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Maka mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR Bukhari)
Karena itulah Allah membolehkan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa dan melakukan perjalanan atau sakit, membolehkan untuk meng-qashar shalat bagi orang yang bepergian, membolehkan tayamum bagi orang yang hendak berwudlu tapi tidak menemukan air atau karena kulitnya tidak boleh terkena air [karena sakit], dan berbagai hal lainnya yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah rukhshah [dispensasi].
Berdasarkan pada realita bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, dan dari hadits yang menjadi tema utama, maka para ulama menyimpulkan kaidah al-asyaqqah tajlibut taisiir [kesukaran itu menyebabkan adanya kemudahan]. Kaidah ini mempunyai pengertian bahwa ketika seseorang berada dalam suatu kondisi yang sangat sulit dan berat baginya untuk melaksanakan suatu kewajiban, maka kesusahan tersebut merupakan penyebab untuk mendapat kemudahan dan keringanan, hingga ia bisa menunaikan dengan mudah.
Contoh pelaksanana kaidah ini adalah toleransi terhadap sebagian benda najis karena susah dihilangkan. Misalnya darah yang diakibatkan karena lua, darah yang sangat sedikit [contohnya darah nyamuk], tanah jalan yang kadang bercampur dengan najis dan lain sebagainya. Semua najis di atas bisa ditoleransi [dianggap bersih]. Karena jika tidak maka akan sangat merepotkan. Ini adalah bentuk dari keringanan di atas.
Contoh lain dari bentuk kemudahan ini adalah toleransi terhadap ketidakjelasan satu transaksi, misalnya WC umum. Meskipun tarif perorang jelas, namun jangka waktu orang yang masuk WC berbeda-beda, bahkan jumlah pengguna air masing-masing orang juga berbeda. Namun demikian masalah ini tidak bisa dibatasi, misalnya masuk WC lebih dari dua jam biayanya dua kali lipat, karena akan sangat merepotkan. Maka untuk mengatasi masalah ini syara’ memberi keringangan dan menganggap transaksi yang demikian sah adanya.
Batasan-batasan kondisi sulit yang mendapatkan kemudahan.
Kondisi sulit kadang menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian orang. Ada yang menyangka bahwa setiap kesulitan meskipun dalam bentuk yang paling sederhana dapat menyebabkan kemudahan sehingga mereka sering menggunakannya sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban. Karena itulah para ulama kemudian menjelaskan berbagai batasan dan rambu-rambu terhadap kondisi sulit yang mendapatkan keringanan.
Kesulitan yang selalu menyertai pelaksanaan kewajiban, karena merupakan karakter dari kewajiban tersebut. Kesulitan seperti ini tidak akan mendapatkan keringanan sama sekali. Misalnya seorang yang berpuasa tidak boleh berbuka, karena rasa lapar. Seorang muslim yang mampu untuk menunaikan ibadah haji, tidak boleh menolak untuk melaksanakan, dengan alasan ibadah haji itu berat baginya, harus menempuh jarak yang jauh dan meninggalkan keluarga. Seorang muslim tidak boleh meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan karena kewajiban ini beresiko pada dirinya. Semua ini bukan merupakan alasan karena merupakan konsekuensi yang lazim.
Kesulitan yang yang bukan merupakan karakter sebuah kewajiban. Kesulitan seperti ini dalam beberapa kondisi mendapatkan keringanan, karena bukan merupakan karakter kewajiban dan bahkan tidak terjadi ketika dalam keadaan normal. Para ulama membagi kesulitan ini dalam dua tingkatan:
a. Kesulitan yang ringan, misalnya: perjalanan singkat , sakit ringan, kekurangan harta dan sebagainya. Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak mempunyai pengaruh terhadap kewajiban dan tidak mendapatkan keringanan. Karena maslahat yang didapat dengan menjalankan kewajiban lebih besar dari kesulitan yang ia rasakan.
b. Kesulitan yang besar, yang bisa mengancam jiwa, harta atau kehormatannnya. Misalnya ada orang yang hendak menunaikan ibadah haji, namun ia mengetahui bahkan keadaan perjalanan sedang tidak aman, seperti banyak perampokan atau di sekitar rumahnya sendiri banyak terjadi perampokan, lalu ia khawatir kejadian seperti ini dapat mengancam diri, harta, atau keluarganya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menunda keberangkatan.
5. Bagian kewajiban yang mudah tidak boleh ditinggalkan karena adanya bagian yang sulit [al maysur laa yasyuthul bil ma’sur].
Satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ulama dengan mengacu pada hadits di atas. Imam Suyuthi dalam kitab Asybah wa An-Nadhir menyebutkan bahwa Ibnu Subky berkata, “Kaidah tersebut termasuk kaidah yang paling masyhur yang dipetik dari hadits Nabi, ‘Jika aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.’”
Maksudnya, dalam kondisi tertentu kadang-kadang seorang muslim tidak bisa menjalankan suatu kewajiban secara utuh. Maka ia diharuskan melakukan bagian yang ia mampu. Bagian-bagian yang sulit tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan semua bagian kewajiban.
Contoh: ketika hendak shalat, ia tidak bisa berdiri, maka ia tetap harus melakukan shalat dengan kondisi yang bisa ia lakukan. Contoh lain, seseorang yang hendak berwudlu dan hanya mendapatkan air yang sangat sedikit yang diperkirakan tidak mencukupi untuk membasuh bagian-bagian yang wajib, maka ia tidak boleh langsung melakukan tayamum. Ia harus terlebih dahulu berwudlu dengan air yang ada, siapa tahu mencukupi. Namun jika memang tidak mencukupi barulah ia bertayamum. Seorang muslim yang mendapatkan penutup aurat yang hanya cukup untuk menutupi sebagian saja maka ia haru menutupi sebagian itu. Seorang yang sembuh dari sakitnya di siang bulan Ramadlan, hendaklah ia menahan hal-hal yang membatalkan puasa, begitu juga wanita yang selesai haidnya, serta lain-lainnya.
Kaidah ini juga didasari sebuah hadits berikut. Amra bin Husain berkata, “Saya mempunyai sakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. perihal pelaksanaan shalat.” Nabi bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa maka dengan duduk, jika tidak bisa maka dengan berbaring.” (HR Bukhari)
Semua yang ada dalam syariat Allah, baik haram, makruh, wajib, maupun sunnah, semuanya masih berada dalam kemampuan manusia, karena Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Allah berfirman yang artinya: “Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)
Karenanya, pelaksanaan kewajiban dalam bentuknya yang sempurna, hanya bisa dicapai dengan menjauhi segala larangan dan melaksanakan semua perintah sesuai dengan penjelasan di atas. Allah berfirman yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian perintah, dan melanggar sebagian larangan, maka orang tersebut belum melaksanakan kewajiban secara sempurna. Karena seorang muslim dituntut untuk mencontoh Rasulullah saw. dalam masalah apapun, kecuali perkara-perkara yang dikhususkan untuk Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
6. Menjauhi larangan dan mengikis sumber kemaksiatan.
Dalam syariat terdapat berbagai penghalang agar manusia tidak terjerumus pada kejahatan atau hanya terkena bibit-bibit kerusakan. Karenanya kita dapat perhatikan terhadap larangan lebih besar dibandingkan dengan perhatian terhadap perintah. Namun demikian bukan berarti meremehkan perintah, tetapi sikap tegas terhadap setiap larangan, terutama yang bersifat haram. Karena larangan yang ada, tidak lain karena adanya bahaya dan kerusakan pada perkara-perkara yang dilarang tersebut. Karenanya larangan tidak boleh dilanggar, kecuali dalam kondisi terpaksa.
Dewasa ini kita temukan banyak kesalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka begitu kuat dalam menjalankan perintah, bahkan dalam masalah sunnah sekalipun. Namun mereka sering menyepelekan larangan, bahkan melanggarnya. Contohnya betapa banyak dalam masyarakat kita orang yang senantiasa puasa, shalat, bahkan qiyamul lail tiap malam, namun ia tetap menjalankan bisnisnya secara riba. Contoh lain, wanita yang mengeluarkan zakat hartanya secara sempurna, tetapi ia tetap tidak mengenakan jilbabnya. Semua itu tentunya tidak sesuai dengan syariat, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang bersama mereka dalam gerbong ketakwaan. Karena dasar ibadah adalah menjauhi semua larangan Allah. Hal ini merupakan jalan kesuksesan untuk memerangi nafsu. Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah berbagai larangan, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling baik ibadahnya.” (HR Tirmidzi)
‘Aisyah ra. berkata, “Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang lebih utama dari orang yang ahli ibadah, hendaklah ia menjauhi dosa.”
Ketika ditanya tentang orang-orang yang tergiur oleh kemaksiatan akan tetapi tidak melakukannya, Umar ra. berkata, “Mereka adalah orang-orang yang hatinya mendapat ujian dari Allah. Mereka akan mendapat ampunan dan pahala kebaikan yang besar.”
Ibnu ‘Umar berkata, “Beberapa dirham yang dijauhkan dari yang haram, jauh lebih baik daripada bershadaqah seratus ribu dirham.”
Hasan Bashri berkata, “Tidak ada ibadah yang lebih baik dari meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah swt.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Takwa bukan sekadar qiyamulail dan puasa di siang hari. Akan tetapi melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. jika ditambah dengan amal perbuatan yang lain, maka itu lebih baik lagi.”
Semua itu mengisyaratkan kepada kita bahwa meninggalkan maksiat lebih utama daripada menjalankan perintah. Namun sekali lagi, bahwa hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim bisa meremehkan kewajiban. Sebagaimana yang sering diutarakan oleh orang-orang yang hatinya sakit. Mereka tidak menjalankan kewajiban sedikitpun, namun mereka mengklaim bahwa lebih bertakwa daripada orang-orang yang shalat, puasa dan melakukan berbagai ibadah lainnya. Karena mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Mereka bergaul di tengah masyarakat dengan baik, tidak pernah membuat onar dan lain sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang menyimpang jauh dari ajaran Islam, bahkan menyelewengkan maksud dan pengertian Islam yang sebenarnya.
7. Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat [dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih].
Ini adalah satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ahli fiqih dari ketegasan syariat dalam masalah larangan. Maksudnya, manakala suatu perkara memiliki sisi manfaat dan sisi mafsadah [kerusakan]. Jika diperhatikan sisi manfaat maka akan timbul mafsadah, dan jika diperhatikan sisi mafsadah maka akan hilang manfaatnya. Dalam kondisi seperti ini yang harus diperhatikan adalah sisi mafsadah. Karena kerusakan mudah sekali menjalar, seperti api yang melahap kayu bakar.
Contoh: tidak diperbolehkan menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr, meskipun ia berani membayar dengan harga yang sangat tinggi. Tidak diperbolehkan membuat atau menjual khamr, meskipun mendatangkan keuntungan yang besar. Wanita tidak boleh bekerja ditempat yang bercampur dengan laki-laki yang bukan muhrim. Begitu juga dengan kaum laki-laki. Karena sisi negatifnya lebih dominan.
Kaidah ini juga didukung hadits Nabi yang melarang wanita melakukan perjalanan seorang diri, tanpa disertai suami atau salah satu mahramnya. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, melalukan perjalanan dengan jarak yang ditempuh selama satu hari, kecuali dengan mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Perlu diketahui bahwa yang menjadi tolok ukur maslahat dan mafsadah yang terdapat dalam perkara itu adalah kebiasaan yang sudah lazim. Karenanya, jika sebuah perbuatan, biasanya mendatangkan mafsadah, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan.
Mafsadah di sini bukanlah mafsadah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan maslahatnya. Misalnya ada satu perbuatan yang mengandung mafsadah. Namun perbuatan itu juga jelas-jelas membawa manfaat yang lebih besar dari mafsadah yang ditimbulkan. Maka perbuatan tersebut boleh dilakukan , mengingat besarnya maslahat yang akan ditimbulkan.
Contoh: memotong bagian tubuh yang terluka untuk menyelamatkan nyawa orang tersebut. Karena jika dibiarkan maka keselamatan nyawa orang tersebut akan terancam. Berbohong dalam rangka menyelesaikan permusuhan dua orang yang bertikai. Karena jika pertikaian tersebut dibiarkan, maka akan mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan atau bahkan kekacauan yang semakin meluas.
8. Penyebab kehancuran umat terdahulu.
Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Yaitu banyak bertanya yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.
Rasulullah saw. telah melarang para shahabat agar tidak banyak bertanya, karena dikhawatirkan [dengan jawaban yang diberikan] justru memberatkan mereka, agar tidak disibukkan oleh hal-hal yang tidak ada gunanya, dan sebagai langkah prefentif dari sikap saling bantah yang tidak ada ujungnya.
Bukhari meriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah saw. melarang “qila wa qol” [ucapan yang belum jelas sumbernya], banyak bertanya dan menghamburkan harta. Karenanya kita dapati para shahabat, Muhajirin dan Anshar, tidak menanyakan sesuatu pun meskipun mereka ingin mengetahuinya. Sebagai aplikasi dari larangan tersebut. Merekalah generasi terbaik yang menjadikan segala kehendaknya mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw. Atau bisa juga karena mereka tidak perlu bertanya, karena mereka hidup bersama Rasulullah saw. yang segera menyampaikan kepada mereka setiap wahyu yang turun.
Kenyataannya wahyu dari langit tidak putus hingga akhir wafat Nabi saw. Setiap terjadi suatu peristiwa, Rasulullah saw. segera menjelaskan kepada mereka, berbagai perkara yang mereka butuhkan berkaitan dengan masalah agama, meskipun tanpa didahului pertanyaan, sehingga tidak menyebabkan keraguan, atau agar mereka tidak terjerumus dalam kesesatan. Allah swt. berfirman, “Allah menjelaskan kepada kalian, agar kalian tidak tersesat.” (an-Nisaa’: 176)
Dengan demikian, tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan. Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap apa yang datang dari Nabi saw. dan kemudian merealisasikannya dalam bentuk konkret.
Dalam menafsirkan ayat, “Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu.” (al-Maa-idah: 101) Ibnu Abbas ra. mengatakan, “Tunggulah. Jika turun ayat al-Qur’an janganlah kalian bertanya sesuatu karena kalian akan mendapatkan penjelasannya.”
Adapun bagi orang-orang Arab Badui dan para utusan dari luar Madinah yang tidak selalu bersama dengan wahyu, maka Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk mengajukan pertanyaan, dengan demikian mereka bisa mendalami urusan agama. Keringanan ini akhirnya menjadikan beberapa orang [di luar Madinah] untuk tidak hijrah ke Madinah. Namun lebih memilih tinggal di Madinah sebagai pengunjung. Dengan demikian mereka mendapatkan keringanan dari Nabi untuk bisa bertanya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nawas Ibnu Sam’an berkata, “Saya tinggal bersama Rasulullah saw. di Madinah selama setahun. Satu hal yang membuat saya tidak hijrah adalah keinginan bertanya. Karena di antara kami jika sudah hijrah, ia tidak bisa lagi bertanya kepada Rasulullah.”
Maksud dari ucapan ini adalah bahwa ia tidak melakukan hijrah dan menetap di Madinah lantaran ia senang untuk bertanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan-pertanyaan mereka ini kadang sesuai dengan apa yang ingin diketahui oleh para Muhajirin dan Anshar [penduduk Madinah], sehingga mereka senang hati. Terlebih jika jawaban yang diberikan Rasulullah adalah kabar gembira tentang hal-hal yang mengantarkan masuk surga.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Rasulullah saw. melarang kami untuk bertanya kepadanya. Karenanya, kami senang jika ada orang Badui yang datang dan bertanya kepada Rasulullah saw. Kami pun mendengarkan.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Seorang laki-laki Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “…Ya Rasulallah, kapan hari kiamat tiba?” Rasulullah menjawab, “…Hus Apa yang telah engkau persiapkan?” Orang itu menjawab, “Saya belum menyiapkan melainkan kecintaan saya kepada Allah dan rasul-Nya.” Rasulullah pun bersabda, “Kamu bersama orang-orang yang kamu cintai.” Kami pun bertanya, “Kami juga?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Saat itu kami sungguh sangat senang.
9. Macam-macam pertanyaan.
a. Pertanyaan yang diperintah
- Bersifat fardlu ‘ain,
Karena setiap orang wajib menanyakannya. Adapun pertanyaan yang bersifat fardlu ‘ain adalah pertanyaan yang berkenaan dengan urusan agama yang harus ia lakukan. Seperti yang berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji, jual beli, nikah dan perkara-perkara lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing mukallaf [orang yang sudah dibebani kewajiban]. Allah berfirman: “Maka tanyakanlah kepada orang yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Dalam hadits Nabi disebutkan, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Baihaqi) termasuk wanita muslimah.
- Fardlu kifayah
Artinya tidak semua orang wajib menanyakannya, cukup sebagian saja. yang terpenting, ada orang yang menanyakanya. Karena jika tidak ada yang bertanya maka seluruh kaum muslimin mendapat dosa. Pertanyaan yang sifatnya fardlu kifayah ini adalah pertanyaan yang bertujuan untuk mendalami permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqih, mendalami hadits, tafsir dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti ini bukan hanya bertujuan untuk pengamalan, namun juga bertujuan untuk menjaga kemurnian agama, mengeluarkan fatwa, mengemban amanah dakwah dan untuk mengajarkan kepada masyarakat berbagai masalah yang diperlukan, sehingga mereka tidak terperosok ke dalam lembah kesesatan.
Firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Makna senada juga diisyaratkan Nabi melalui haditsnya,”Hendaklah orang yang hadir mengajarkan kepada orang yang tidak hadir.” (Muttafaq ‘alaiH)
Ketika Ibnu Abbas ra. ditanya perihal luasnya ilmu yang dimiliki, ia menjawab, “Saya dikaruniai Allah lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu berfikir.”
- Madub (dianjurkan)
Artinya, seorang muslim dianjurkan untuk menanyakannya. Contoh, menanyakan berbagai amalan sunnah, atau untuk memperjelas hal-hal seputar sah atau batalnya suatu perbuatan.
b. Pertanyaan yang dilarang
- Haram
Artinya orang yang bertanya akan mendapat dosa. Pertanyaan tentang sesuatu yang sengaja dirahasiakan oleh Allah, dan telah ditegaskan bahwa masalah tersebut menjadi urusan Allah. Misalnya tentang waktu tibanya kiamat, hakekat ruh, rahasia qadla’ dan adar dan lain sebagainya.
- Pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Sekelompok orang bertanya kepada Nabi, dengan maksud mengejek. Salah satu di antara mereka ada yang bertanya, “Siapa bapakku?” sementara yang lain kehilangan untanya dan bertanya, “Dimana untaku?” maka turunlah ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu bertanya kepada Nabimu, hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (al-Maidah: 101)
- Bertanya tentang mukjizat dengan sikap menantang, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang musyrik.
- Menanyakan sesuatu yang rumit dan hampir tidak bisa dijawab.
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Muawiyah ra. bahwa Nabi saw. melarang alghuluthath, yaitu perkara-perkara yang sangat rumit. Larangan ini lebih disebabkan karena masalah-masalah tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi agama, bahkan mungkin tidak pernah terjadi.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Akan datang kepada umatku, suatu kaum yang menanyakan kepada para ulama berbagai permasalahan yang rumit, mereka inilah seburuk-buruk umatku.” (HR Thabrani)
a. Pertanyaan makruh, yakni lebih baik ditinggalkan. Walaupun jika ditanyakan tidak berdosa.
- Pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Yaitu pertanyaan yang tidak ada manfaatnya untuk dijawab, bahkan bisa jadi akan membuka aib si penanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang tidak disukainya. Ketika pertanyaan tersebut semakin banyak, beliau pun marah. Lalu beliau berkata, “Tanyakan kepadaku apa-apa yang ingin kalian tanyakan.” Salah seorang bertanya, “Siapa bapakku yan Rasulallah?” Nabi menjawab, “Bapakmu adalah Hudzaifah.” Yang lainnya bertanya, “Siapa bapakku ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Bapakmu adalah Salim, budaknya Syaibah.” Ketika Umar ra. mengetahui bahwa muka Rasulullah saw. mengisyaratkan kemarahan, ia pun berkata, “Ya Rasulallah, kami bertaubat kepada Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).
- Bertanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh syara’. Artinya tidak ditegaskan halal atau haramnya. Karena dikhawatirkan justru akan semakin menambah beban.
Rasulullah bersabda, “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam lainnya, adalah menanyakan sesuatu yang sebenarnya didiamkan oleh syara’. Lantas karena pertanyaannya, menjadi diharamkan.” (HR Muslim)
Riwayat lain menyebutkan, “…Orang yang bertanya tentang sesuatu secara berlebihan.” Imam Nawawi berpendapat bahwa larangan ini khusus pada masa Nabi saw., setelah semua hukum syariat sempurna, larangan ini tidak berlaku lagi. Karena tidak ada kemungkinnan ditetapkannya suatu hukum baru.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang laki-laki lain yang kedapatan bersama istrinya. Yakni saat turun ayat tentang hukum bagi pelaku zina yang mensyaratkan adanya empat orang saksi. Ternyata Rasulullah tidak suka dengan pertanyaan itu.
b. Mubah
Yaitu pertanyaan-pertanyaan selain yang tercakup dalam jenis pertanyaan di atas. Imam Nawawi menukil dari al-Khathabi dan ulama lainnya, ketika mengomentari sabda Rasulullah saw., “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam…”: “Hadits ini ditujukan untuk orang yang bertanya secara berlebihan dan tidak ada gunanya. Sedangkan orang yang bertanya karena terpaksa maka tidaklah mengapa. Karena Allah swt. telah berfirman, “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang mengerti.” (al-Anbiyaa’: 7)
1. Memahami dan mengamalkan lebih diutamakan daripada bertanya.
Seorang Muslim hendaknya lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua masalah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Jika yang didapati adaplah perkara yang bersifat normatif, maka hendaklah ia meyakini kebenarannya. Namun jika yang didapat adalah perkara yang bersifat aplikatf, maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya. Barangsiapa yang bersegera melaksanakannya seperti ini, maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sedangkan orang yang menempuh kiat itu dan hanya disibukkan oleh berbagai pertanyaan yang menyeruak dalam jiwanya, maka ia termasuk orang-orang yang telah mendapat peringatan dari Rasulullah. Mereka ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan ahli kitab, yang binasa akibat banyak bertanya dan tidak mentaati perintah.
Demikianlah kondisi para shahabat dan Tabi’in, dalam menuntut ilmu yang bermanfaat, baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Ketika ditanya tentang mengusap Hajar Aswad, Ibnu Umar ra. berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana jika penuhh sesak dan aku tidak bisa mencapainya?” Ibnu Umar menjawab, “Tahukah kamu rukun Yamani? Aku melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” (HR Bukhari dan lainnya)
Yang dimaksud oleh Ibnu Umar ra. adalah tidak ada gunanya mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin atau sulit dilakukan, karena akan mengikis semangat untuk mengikuti sunnah.
2. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.
3. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.
Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”
Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”
Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”
Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”
Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”
4. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.
Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)
5. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:
“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)
Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)
Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)
Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)
6. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.
Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)
Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)
7. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.
Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)
8. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)
9. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:
“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)
Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.
Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)
Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.
10. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)
Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)
Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)
Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.
Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)
Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.
11. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.
12. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.
Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”
Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”
Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”
Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”
Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”
13. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.
Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)
14. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:
“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)
Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)
Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)
Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)
15. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.
Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)
Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)
16. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.
Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)
17. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)
18. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:
“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)
Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.
Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)
Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.
19. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)
Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)
Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)
Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.
Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)
Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.
20. Bisa disimpulkan bahwa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu
disalin dari kitab (Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha)
0 comments:
Post a Comment