Hadits Arbain ke 7 (Nasihat dan Agama)
عن تميم بن أوس رضي الله عنه ، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( الدين النصيحة ، قلنا : لمن يا رسول الله ؟ قال : لله ، ولكتابه ، ولرسوله ، ولأئمة المسلمين وعامتهم ) رواه البخاري ومسلم .
Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dary ra. berkata, Nabi saw. bersabda: “Agama itu nasehat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untukk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin.” (HR Muslim)
URGENSI HADITS
Hadist ini merupakan ucapan yang singkat dan padat, yang hanya dimiliki oleh Nabi saw. Ucapan yang singkat namun mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Hingga tampak semua hukum syara’, baik ushul maupun furu’ terdapat padanya. Bahkan satu kalimat saja, “wa likitabiHi” sudah mencakup semuanya. Karena kitab Allah mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’, perbuatan maupun keyakinan. Allah swt. berfirman: “Tidak Aku tinggalkan sedikitpun dalam kitab ini.” (al-An’am: 38) karenanya ada ulama yang berpendapat bahwa hadits ini merupakan siklus ajaran Islam.
KANDUNGAN HADITS
1. Ketulusan kepada Allah
Hal ini terimplementasi dalam bentuk iman kepada Allah swt. tidak menyekutukan-Nya, tidak mengingkari sifat-sifat-Nya, meyakini bahwa segala kesempurnaan hanyalah milik Allah, mensucikan-Nya dari semua kekurangan, ikhlash dalam beribadah kepada-Nya, senantiasa taat, tidak berbuat maksiat, mencintai karena-Nya, membenci karena-Nya, loyal kepada orang-orang yang taat kepada-Nya, dan tidak loyal kepada orang-oran gyang berbuat maksiat kepada-Nya. komitmen terhadap masalah ini, dalam setiap ucapan maupun perbuatannya, akan mendatangkan kebaikan bagi seorang muslim, di dunia dan di akhirat.
2. Ketulusan kepada Al-Qur’an
Hal ini terimplementasi dalam bentuk iman kepada kitab-kitab samawi yang diturunkan Allah swt. dan meyakini bahwa al-Qur’an merupakan penutup dari semua kitab-kitab tersebut. Ia adalah kalam Allah yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa terpelihara, baik dalam hati maupun dalam bentuk tulisan. Allah sendirilah yang menjamin hal itu. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Qur’an dan Kami sendiri yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Lebih rincinya, ketulusan kepada al-Qur’an dilakukan melalui beberapa hal berikut:
a. Membaca dan menghafal al-Qur’an
Dengan membaca al-Qur’an akan didapatkan berbagai ilmu dan pengetahuan. Di samping itu, akan melahirkan kebersihan jiwa, kejernihan perasaan dan mempertebal ketakwaan. Membaca al-Qur’an merupakan kebaikan dan merupakan syafaat yang akan diberikan pada hari kiamat kelak.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Bacalah al-Qur’an, karena pada hari kiamat, al-Qur’an akan datang untuk memberi syafaat kepada orang yang membacanya.”
Sedangkan menghafal al-Qur’an merupakan keutamaan yang sangat besar. Melalui hafalan hati akan lebih hidup dengan cahaya kitabullah, manusia juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu derajatnya di akhirat akan semakin tingi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dikatakan kepada orang yang menghafal al-Qur’an: bacalah dan naiklah, bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. Karena kedudukanmu [di surga] sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
b. Membaca dengan tartil dan suara yang bagus, sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi. Rasulullah saw. bersabda: “Bukan golongan kami orang yang tidak membaca al-Qur’an dengan irama.” (HR Muslim)
c. Mentaddaburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayat. Allah swt. berfirman: “Apakah mereka tidak mentaddaburi al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (Muhammad: 24)
d. Mengajarkannya kepada generasi muslim, agar mereka ikut berperan dalam menjaga al-Qur’an. Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an adalah kunci kebahagiaan dan izzah umat Islam. Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang memperlajari dan mengajarkan al-Qur’an.” (HR Bukhari)
e. Memahami dan mengamalkannya. Tidaklah baik membaca al-Qur’an namun tidak berusaha memahaminya. Tidaklah baik memahami al-Qur’an namun tidak mengamalkannya. Bagaimanapun, buah dari membaca al-Qur’an baru akan kita peroleh setelah memahami dan mengamalkannya. Karenanya alangkah buruknya, jika kita memahami namun kita tidak mau mengamalkannya. Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan yang tidak kalian lakukan. Dosa besar di sisi Allah jika kalian mengatakan tapi tidak mau menjalankan.” (ash-Shaff: 2-3)
3. Ketulusan kepada Rasulullah saw.
Hal ini terimplementasi dalam bentuk membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam al-Qur’an maupun sunnah, mencintai dan menaatinya. Mencintai Rasul secara otomatis mencintai Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Katakanlah [wahai Muhammad], ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku [Muhammad] niscaya kalian dicintai Allah.” (Ali ‘Imraan: 31).
Ketaatan kepada Rasulullah saw. secara otomatis menaati Allah, “Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka ia telah menaati Allah.” (an-Nisaa’: 80)
Ketulusan kepada Rasulullah sepeninggalan beliau, dilakukan dengan cara mempelajari sirah, mencontoh akhlak dan adabnya, komitmen dengan sunnahnya, senantiasa mengambil manfaat dan pelajaran dari kehidupannya, ikut andil dalam penyebaran sunnah [hadits] di tengah-tengah masyarakat, dan itu serta membantah berbagai tuduhan bohong yang dilemparkan para musuh dan penentang Rasulullah saw.
4. Ketulusan para pemimpin
Pemimpin orang-orang muslim adalah para penguasa, wakil-wakilnya atau para ulama. Agar penguasa ditaati, maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri. Allah berfirman, “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan penguasa dari kalian.” (an-Nisaa’: 59).
Ketulusan kepada para pemimpin adalah dengan menyukai kebaikan, kebenaran dan keadilannya, bukan lantaran individunya. Juga karena melalui kepemimpinannya, kemashlahatan kita bisa terpenuhi. Kita juga senang dengan persatuan umat dibawah kepemimpinan mereka yang adil, dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Ketulusan kepada para pemimpin, juga dilakukan dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada dalam rel kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan cara yang baik. Karena tidak ada kebaikan, masyarakat yang tidak mau menasehati penguasanya, dan masyarakat yang tidak mau mengatakan kepada penguasanya yang dhalim “anda dhalim”. Juga tidak ada kebaikan, penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam orang-orang yang berusaha menasehatinya, menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, yang terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat mungkin terjadi jika masyarakat muslim telah menyeleweng dan jauh dari nilai-nilai Islam.
Adapun para ulama, ketulusan kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, dilakukan dengan cara meng-counter berbagai pendapat sesat yang berkenaan dengan al-Qur’an dan sunnah. Menjelaskan berbagai hadits, apakah hadits tersebut shahih atau dla’if.
Mereka juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk selalu menasehati para penguasa, senantiasa menyerukan agar mereka berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka lalai dalam mengemban tanggung jawab ini, hingga tidak ada satupun orang yang menyuarakan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allah akan menghisabnya. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya jihad yang paling mulia adalah mengatakan kebenaran di depan penguasa yang semena-mena.” Mereka juga akan dimintai pertanggungjawaban jika mereka justru memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong mereka.
Sedangkan ketulusan kita kepada para ulama, adalah dengan senantiasa mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai hadits-hadits yang disampaikan jika memang mereka orang bisa dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut dapat mengurangi kewibawaannya dan menjadikan mereka bahan tuduhan.
5. Ketulusan kepada kaum Muslimin
Ketulusan kepada kaum muslimin bisa dilakukan dengan cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan akhiratnya. Sangat disayangkan bahwa kaum muslim telah mengabaikan tugas ini. Mereka tidak mau menasehati muslim yang lain. Khususnya yang berkaitan dengan urusan akhirat.
Nasehat yang dilakukan , seharusnya tidak terbatas dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengna amalan. Dengan demikian nasehat tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya, pengambilan manfaat, amar ma’ruf nahi munkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, dan menghindari penipuan dan kedengkian. Meskipun harus bertaruh jiwa dan harta.
6. Nasehat yang paling baik
Yaitu nasehat yang diberikan ketika seseorang dimintai nasehat. Rasulullah bersabda: “Jika seseorang minta dinasehati maka nasehatilah ia.” Termasuk ketulusan yang paling baik adalah yang dilakukan saat orang itu tidak ada di hadapannya. Ini dengan cara menolong dan membelanya. Ini bukti ketulusan yang sungguh-sungguh. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya termasuk hak seorang muslim terhadap muslim yang lain adalah tetap tulus meskipun tidak ada di hadapannya.”
7. Pendapat ulama seputar nasehat
Hasan al-Bahsry berkata: “Sesungguhnya engkau belum terhitung menasehati saudaramu, sebelum engkau menasehatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak ia mampu melakukannya.”
Ia juga menyebutkan bahwa beberapa shahabat pernah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang yang paling dicintai Allah, adalah orang yang menyebabkan Allah mencintai hamba-Nya, menyebabkan cinta kepada Allah dan melakukan nasehat.”
Abu Bakar al-Mazni berkata: “Yang menjadikan Abu Bakar lebih tinggi derajatnya dari pada shahabat-shahabat lainnya bukanlah puasa ataupun shalat. Akan tetapi karena sesuatu yang ada di dalam hatinya. Yang ada di hatinya adalah kecintaan kepada Allah dan nasehat terhadap makhluk-Nya.
Fudhail bin Iyadh berkata: “Kemuliaan yang diperoleh oleh generasi kami, bukanlah karena shalat dan puasa. Namun karena kemurahan hati, lapang dada dan suka memberi nasehat.
8. Adab-adab nasehat
Di antara adab nasehat dalam Islam adalah menasehati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena barangsiapa yang menutupi keburukan saudaranya, maka Allah akan menutupi keburukannya di dunia dan di akhirat. Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa yang menasehati seseorang dan hanya ada mereka bedua, maka itulah nasehat yang sebenarnya. Barangsiapa yang menasehati saudaranya di depan banyak orang, maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang dinasehati.”
Fidhail bin Iyadh berkata: “Seorang mukmin adalah orang yang menutupi aib dan menasehatinya. Sedangkan orang fasik adalah orang yang merusak dan mencela.”
9. Beberapa ibrah yang disinyalir oleh Ibnu Bathal:
a. Nasehat adalah islam itu sendiri. Sementara Islam dilakukan melalui ucapan dan perbuatan.
b. Nasehat merupakan fardlu kifayah
c. Orang yang measa yakin bahwa orang yang akan dinasehati, akan menerima dan tidak akan bereaksi negatif, maka dalam konsisi seperti ini, wajib baginya untuk memberikan nasehat. Namun jika sebaliknya, justru orang yang dinasehatai akan bereaksi sehingga membahayakan jiwa, maka dalam kondisi ini ia bisa memlikih, menasehati atau tidak.
0 comments:
Post a Comment